Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global. Meskipun upaya dilakukan terus – menerus untuk mengatasi permasalahan tersebut namun kasus malaria tetap meningkat. Menurut WHO (2018) kasus malaria antara 2015 hingga 2017 meningkat dari 211 juta menjadi 219 juta, dengan peningkatan kematian secara bersamaan. Sekitar 97% kasus malaria terjadi di Sub Sahara Afrika (SSA) dan Asia Tenggara, wilayah yang dibebani oleh indeks perkembangan anak berkelanjutan yang buruk. Hampir 85,3 juta kehamilan terjadi di daerah penularan Plasmodium Falciparum pada 2007. Risiko unik ketika terinfeksi P. falciparum selama kehamilan adalah malaria plasenta (PM), yang lazim pada sekitar 32,3% wanita hamil di SSA. Hal tersebut berdampak pada respons imun inflamasi ibu, perubahan patologis plasenta, dan hasil kelahiran yang buruk. PM adalah faktor risiko yang signifikan untuk hipertensi gestasional dan preeklampsia.
Status sosial ekonomi rendah, infeksi, peradangan, dan fungsi plasenta yang menyimpang adalah prediktor independen yang mapan dari hasil perkembangan saraf jangka pendek dan jangka panjang yang merugikan. Faktor – faktor risiko ini lazim di negara – negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs) endemis malaria, menciptakan keadaan di mana mereka dapat bergabung untuk meningkatkan risiko kesulitan perkembangan saraf. Sekitar 250 juta anak di seluruh dunia, mayoritas yang tinggal di SSA dan Asia Tenggara, tidak mencapai potensi perkembangan mereka. Malaria plasenta merupakan kontributor penting untuk jalur penyebab gangguan perkembangan saraf dan gangguan perkembangan masa depan. Hal ini dibuktikan dengan penelitian pada hewan dan manusia yang telah menunjukkan bahwa PM dapat berdampak buruk pada perkembangan saraf janin dan bayi.
Dari berbagai macam permasalahan tersebut sebuah penelitan yang dilakukan lawforda H.L.S et al (2019) menunjukkan diperlukannya sebuah kerangka konseptual untuk menggambarkan hubungan antara malaria plasenta dan hasil perkembangan saraf bayi. Kerangka kerja konseptual ini mencakup tiga tahap yang berbeda: (1) faktor risiko ibu dan lingkungan untuk pengembangan malaria plasenta; (2) patologi plasenta dan peradangan yang terkait dengan infeksi malaria plasenta; dan (3) dampak malaria plasenta pascanatal. Efek langsung, tidak langsung, dan dua arah dari faktor – faktor risiko ini pada perkembangan saraf bayi di tiga tahap diperiksa secara kritis. Faktor – faktor ini pada akhirnya memuncak pada fenotip bayi yang tidak hanya mengarah pada hasil kelahiran yang buruk, tetapi juga pada peningkatan risiko defisit neurologis, kognitif, dan perilaku yang dapat berdampak pada kualitas hidup pada populasi berisiko tinggi ini. Berbagai faktor risiko diidentifikasi dalam kerangka kerja konseptual ini. Namun, berdasarkan bukti saat ini, kesenjangan pengetahuan utama adalah ketidakpastian mengenai mana yang paling penting dan bagaimana tepatnya mereka berinteraksi.