• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
09 Mar2018

Didatangi Anies, Kepala Puskesmas Adukan Kurangnya Kapasitas Menampung Pasien

09/03/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Berita

JAKARTA – Ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunjungi Puskesmas Kecamatan Setiabudi, Jumat (9/3/2019) siang, banyak warga yang tengah datang untuk mendapat layanan kesehatan.

“Alhamdulillah melihat layanan di sini banyak warga yang datang. Sebenarnya secara jumlah cukup banyak ya,” kata Anies di puskesmas, Jumat siang.

Kepala Puskesmas Kecamatan Setiabudi Nisma Hiddin menyebut sehari puskesmas bisa melayani 200 pasien. Namun, kebutuhan warga melampaui kapasitas puskesmas.

“Gini Pak, karena memang ini kebutuhan masyarakat dengan padatnya tadi, dengan angka harapan hidupnya makin tinggi, lansia saya enggak kedapetan. Butuh tempat besar dan agak susah dinaikkan lagi ke atas sehingga butuh pengembangan-pengembangan,” kata Nisma ke Anies.

Anies pun membalas pernyataan Nisma. “Ya, pengembangan… Nanti Insya Allah kami bisa bantu ya Bu,” kata dia.

Sementara itu Camat Setiabudi Dyan Airlangga menyampaikan bahwa pengembangan fasilitas kesehatan ini menjadi salah satu permintaan warga dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) 2018.

“Warga mintanya RSUD, seperti yang di Pasar Minggu, di Tebet. Kecamatan Setiabudi ini cuma satu,” kata Dyan.

Dyan mengatakan pihaknya sudah berupaya dengan mengusulkan RSUD didirikan di sebidang tanah milik Pemprov DKI di Menteng Atas. Selain rumah sakit, warga juga minta agar di sana didirikan gelanggang olahraga yang belum dimiliki Kecamatan Setiabudi.

“Tanahnya luasnya 7.000 meter persegi, tapi dari pemiliknya Dinas Kehutanan belum mau memberikan, kami upayakan supaya ketemu,” ujar Dyan.

Sumber: kompas.com

Continue Reading No Comments

02 Mar2018

Ini Indikator Puskesmas Ramah Anak

02/03/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Berita

BANGKA BELITUNG — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise menerangkan, ada beberapa indikator Puskesmas Ramah Anak, diantaranya adalah penyediaan tempat bermain ramah anak, tenaga medis yang melayani dengan ramah, dan pelayanan gizi yang memadai bagi anak anak. Jika puskesmas memenuhi indikator tersebut, maka Kementerian PPPA akan terus mendorong Pemerintah Daerah untuk memberikan dukungan sehingga dapat menjadi puskesmas ramah anak.

Menteri Yohana menilai Pemerintah Provinsi Bangka Belitung cukup memerhatikan masalah perempuan dan anak, serta mendukung komitmen Pemerintah Daerah dan para pimpinan puskesmas untuk mewujudkan puskesmas ramah anak.

“Saya meminta agar Pemerintah Daerah segera memenuhi indikator indikator puskesmas ramah anak yang juga berpengaruh terhadap terwujudnya Kabupaten / Kota Layak Anak (KLA),” ujar Mentri Yohana dalam keterangan resmi, Jumat (2/3).

Selain puskesmas ramah anak, Pemerintah Daerah juga diharapkan mampu mewujudkan posyandu ramah anak. Salah satu Kader Posyandu Pasir Putih, Ainah berpendapat fasilitas posyandu ramah anak berpengaruh terhadap motivasi para ibu untuk membawa anak anaknya ke posyandu.

“Saya mengapresiasi Pemerintah Daerah yang telah berusaha untuk mewujudkan puskesmas ramah anak yang menyediakan ruang bermain anak-anak. Saya berharap, ke depannya Pemerintah juga dapat mewujudkan posyandu ramah anak. Pengalaman saya, para kaum Ibu terkadang malas membawa anak anak mereka ke posyandu karena situasinya yang kurang nyaman dan fasilitas posyandu tersebut kurang memadai, baik bagi perempuan maupun anak anak,” ujar Ainah.

Senada dengan Ainah, Menteri Yohana juga menghimbau agar puskesmas ramah anak dapat memberikan pendampingan terhadap posyandu untuk menjangkau kebutuhan masyarakat, khususnya di pedesaan. Puskesmas ramah anak ini harus mendampingi posyandu posyandu yang ada di sekitar mereka agar menjadi posyandu ramah anak.

“Jadi, selain mewujudkan puskesmas ramah anak, Pemerintah Daerah juga harus berusaha mewujudkan posyandu ramah anak,” tutupnya

Sumber: republika.co.id

Continue Reading No Comments

02 Mar2018

Belum Penuhi Standar, 5 Puskesmas Perlu Dirombak

02/03/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Berita

RMOL. Upaya Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Lebong untuk meningkatkan pelayanan kesehatan patut diacung jempol. Bahkan, 5 Puskesmas yang belum memenuhi standar Permenkes nomor 75 tahun 2014 bertahap dirombak.

Kepala Dinkes Lebong, Amril Yudani melalui Sekretaris, Rachman mengatakan, ada sekitar 13 Puskesmas yang tersebar di Kabupaten Lebong. Dipastikannya 8 diantaranya telah memenuhi standar bangunan kemenkes. Sedangkan, 5 pukesmas lainnya masih menjadi catatan untuk direhab.

“8 Pukesmas sudah memenuhi standar. Sementara untuk Puskesmas Semelako, Limaupi, Kota Donok, Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kota Baru bertahap diselesaikan. Sebab, seluruh bangunan ini peninggalan sebelum Lebong pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong,”  kata Rachman kepada RMOL Bengkulu, Kamis (1/2/2018).

Standar permenkes 75 yang dimaksud tidak hanya dari segi tempat pembuangan limbah seperti Sistim Instalasi Pengolahan Limbah (Simpal) dan pembakaran LB3 berupa insineratir. Namun  standar kemenkes dalam arti luas, sambung Rachman.

Artinya luasan bangunan, ruangan sesuai dengan denahnya serta fasilitasnya sesuai permenkes. Ini saya mau nekankan agar semua Puskesmas di Lebong  bisa mendapat agreditasi. Apalah gunanya gedung sesuai standar tapi SDM nya tidak standard an belum teragreditasi. Selama ini belum diperhatikan kesana, sehingga saya akan mencoba untuk memaksimalkan kemampuan untuk mengagreditasi seluruh puskesmas ini,” ucapnya.

Lebih lanjut, tahun 2018 ini bangunan pukesmas Muara Aman akan dilakukan finishing dengan kucuran  dana yang bersumber dari DAK bidang kesehatan Kemenkes RI senilai Rp 2 miliar

“Gedung pukesmas Muara Aman dilanjutkan tahun ini. Mudah-mudahan penghujung tahun 2018 sudah bisa beroperasi. Karena hanya tinggal finishing saja lagi,” demikian Rachman. [ogi]

Sumber: rmolbengkulu.com

Continue Reading No Comments

26 Feb2018

Seminar Nasional Peran Dinas Kesehatan dalam Sistem Kesehatan yang Terfragmentasi di Era JKN

26/02/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Agenda Mendatang

KERANGKA ACUAN

SEMINAR NASIONAL PERAN DINAS KESEHATAN DALAM SISTEM KESEHATAN YANG TERFRAGMENTASI DI ERA JKN

Yogyakarta, Rabu 12 Maret 2018

 

materi_icon PENDAHULUAN

Mulai tahun ini, setiap modul dalam Mata Kuliah Manajemen Stratejik dan Kesinambungan Finansial pada Program Studi Pasca Sarjana Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, akan diakhiri dengan suatu Seminar Nasional yang sesuai dengan substansi modul terkait. Topik seminar tersebut akan dikaitkan dengan isu mutakhir yang bersifat stratejik yang dihadapi Dinas Kesehatan baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Topik seminar nasional tersebut adalah “Peran Dinas Kesehatan dalam Sistem Kesehatan yang Terfragmentasi di Era JKN”

pengantar-trans LATAR BELAKANG

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 9, Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Dalam konteks demikian, Kesehatan ditetapkan sebagai salah satu urusan wajib yang merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pemerintahan konkuren (Pasal 11 dan 12). Artinya, ada pembagian kewenangan dalam urusan kesehatan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara rinci pembagian kewenangannya diatur dalam Lampiran UU tersebut.

Dalam penyelenggaraan urusan konkuren, sesuai Pasal 18 No. 23 tahun 2014, Pemerintah Pusat berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dalam konteks demikian, penyelenggaraan urusan kesehatan harus mengacu kepada NSPK yang ditetapkan Kementerian Kesehatan, termasuk penyelenggaraan sistem kesehatan di daerah.

Di lain pihak, sejak 1 Januari 2014 berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang No. 24 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai. Dalam konteks UU No. 23 Tahun 2014, penyelenggaraan JKN tidak jelas dikategorikan ke dalam urusan pemerintahan yang mana, tetapi cenderung menjadi urusan pemerintahan absolut. Artinya menjadi kewenangan penuh dari Pemerintah Pusat sehingga bersifat sentralistik. Hal ini menimbulkan permasalahan besar dalam penyelenggaraan sistem kesehatan di daerah karena ada regulasi yang tidak sejalan.

JKN telah mendorong peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan di tingkat pusat dan berpengaruh pada peningkatan alokasi dana di daerah. UU No. 36 tentang Kesehatan tahun 2009 yang mengamanatkan alokasi dana kesehatan sebesar 5% dari APBN di Pemerintah Pusat telah terjadi pada tahun 2016 dan tahun 2017. Salah satu alokasi terbesar adalah untuk membiayai Penerima Bantuan Iuran (PBI) peserta JKN demi amanat UU 1945 tentang keadilan sosial. Tidak hanya itu alokasi dari Kemenkes juga diberikan kepada daerah untuk membiayai program – program fisik dan non fisik melalui dana alokasi khusus (DAK).

Sebagai hasil peningkatan pembiayaan kesehatan, pemerintah Kabupaten/ Kota dan masyarakatnya menerima sumber dana kesehatan dari berbagai sumber yaitu dari:

  1. Kemenkeu (APBN) yaitu dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH),
  2. Kementerian Kesehatan yaitu dana alokasi khusus (DAK Fisik dan DAK Non Fisik),
  3. BPJS Kesehatan berupa dana penggantian klaim, dana kapitasi , dan dana non kapitasi, serta dana masyarakat.

Semua dana ini disalurkan kepada daerah dengan tujuan yang sama yaitu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Di samping itu, pemerintah Kabupaten/ Kota dan Provinsi menerima dana untuk kesehatan dari Penerimaan Asli Daerah (PAD).

Fragmentasi Sistem Kesehatan

fragmentasi

Ada hal menarik tentang sistem kesehatan. Akibat banyaknya sumber dana, terjadi fragmentasi sistem kesehatan di daerah. Beberapa hal yang menjadi penyebab fragmentasi, diantaranya:

  • Adanya dua jalur besar dalam sistem pendanaan kesehatan yang tidak dikelola secara bersama. Jalur pertama menggunakan UU Kesehatan, UU Pemerintah Daerah, dan UU Rumah Sakit; sedangkan jalur kedua menggunakan UU SJSN dan UU BPJS.
  • Data keuangan kegiatan pelayanan kesehatan yang dipergunakan oleh BPJS Kesehatan tidak dapat dianalisis di daerah; di level provinsi, kabupaten/ kota, dan kecamatan. Sifat manajemen data adalah sentralistik.
  • Adanya sistem perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban pembiayaan kesehatan di daerah yang desentralistik.
  • Tidak berjalannya perencanaan, monitoring dan evaluasi secara bersama antara aparat kesehatan dengan BPJS. Pembagian peran pun tidak jelas

Sebagai catatan: Perencanaan dan penganggaran di daerah melalui mekanisme APBD yang diawali dengan tahap analisis masalah, program, sasaran, target, dan kerangka pendanaan. Tanpa ada data BPJS dalam proses perencanaan di daerah maka terjadi potensi in-efektivitas dan in-efisiensi perencanaan kesehatan. Walaupun secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar, prinsip Good Governance tidak dijalankan dengan baik dalam kebijakan JKN. Dalam hal ini tidak ada tranparansi dan akuntabilitas berbagai keputusan dalam JKN yang sebenarnya dapat diperoleh dari data BPJSK. Akibatnya partisipasi berbagai stakeholder menjadi berkurang yang pada akhirnya akan berimplikasi pada fragmentasi sistem kesehatan yang dapat merugikan masyarakat.

Bagaimana prospek keterbukaan data BPJS di tahun 2018? Apakah Inpres no 8/2017 akan membantu?

Sistem yang dianut oleh BPJS dalam penggunaan data sampai tahun ke empat pelaksanaan masih belum sesuai dengan UU tentang informasi publik. UU No 14/ 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan menjadi sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya yang berakibat pada kepentingan publik.

  • setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik (Pasal 2)
  • menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik (Pasal 3)

Sistem data BPJS yang sentralistik mengakibatkan data tidak dapat diakses masyarakat bahkan pemerintah di daerah. Hal ini perlu diperbaiki.

Presiden menyadari adanya masalah dalam JKN sehingga menerbitkan sebuah instruksi. Melalui Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN; Presiden telah menginstruksikan beberapa Kementerian, Jaksa Agung, Direksi BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas pelayanan bagi peserta JKN. Instruksi ini berlaku sampai dengan akhir Desember 2018. Salahsatunya adalah mengenai penggunaan data BPJS dan peran pemerintah daerah dalam JKN. Adanya Inpres ini menjadi salah satu harapan akan terjadinya penggunaan data BPJS di daerah untuk penguatan perencanaan kesehatan.

Berdasarkan Latar Belakang demikian, tantangan utama yang dihadapi daerah khususnya dinas kesehatan baik provinsi maupun kabupaten/kota, adalah bagaimana berperan atau menentukan perannya dalam sistem kesehatan yang terfragmentasi seperti saat ini. Dalam penyelenggaraan sistem kesehatan di daerah, dinas kesehatan dituntut untuk berperan sebagai pengawas (regulator) agar sistem kesehatan bisa berfungsi dengan baik. Jika ada pihak yang tidak bisa diatur dan diawasi (dalam hal ini BPJS), maka penyelenggaraan system kesehatan akan sangat terganggu bahkan bisa kacau. Dalam hal ini, dinas kesehatan perlu segera menentukan sikap tegas untuk menyelamatkan sekaligus memperkuat sistem kesehatan di daerah.

icon-tujuan TUJUAN

  • Membahas peran, fungsi, dan antisipasi Adinkes dan Kepala Dinas Kesehatan dalam menyikapi sistem kesehatan yang terfragmentasi dalam era JKN.
  • Mencari solusi agar peran dan fungsi dinas kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan di daerah dapat berjalan optimal.

cp-iconNARA SUMBER

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
  • Ketua Adinkes
  • Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau
  • Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

people-icon PESERTA

  • Kepala Dinas Kesehatan Provinsi beserta pejabat eselon III dan IV
  • Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota beserta pejabat eselon III dan IV
  • Kementerian Kesehatan RI
  • Kementerian Dalam Negeri
  • BPJS
  • Dosen Perguruan Tinggi
  • IKKESINDO
  • CoP
  • Peneliti dan Konsultan
  • Donor Agency: USAID; UNICEF; UNFPA; WHO; World Bank; DFAT.
  • Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM.
  • Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) FH UGM. 

jam_iconWAKTU DAN TEMPAT

  • Waktu: Rabu 12 Maret 2018, jam 10.00 – 12.00
  • Tempat: R. Theater Perpustakaan FKKMK UGM

Icon-EvaluasiMETODE

  • Seminar
  • Webinar

calendar_iconAGENDA

Waktu Materi Nara Sumber Moderator
09.30 – 10.00 Registrasi   Panitia
10.00 – 10.15 Pembukaan Ketua Board PKMK MC
10.15 – 11.45 Peran Dinas Kesehatan dalam Sistem Kesehatan yang Terfragmentasi di Era JKN

Materi

Pemateri:
  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
Pembahas:
  • Ketua Adinkes
  • Ka. Dinkes Prov. Riau
  • Ka. Dinkes Prov. Jawa Tengah
Dwi Handono S.
11.45 – 12.00

Kesimpulan dan Rencana Tindak Lanjut

Penutupan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD Dwi Handono S.

 

PENDAFTARAN

Kontribusi peserta:

  • Untuk Webinar dan Seminar di FKKMK UGM:
  • Peserta perorangan dikenakan biaya Rp. 100.000 per orang;
  • Peserta kelompok (webinar): Rp. 300.000/kelompok.

informasi-icon-2 INFORMASI PENDAFTARAN

Maria Lelyana (Lely)

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan , UGM

Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 08111019077 (HP/WA)

Email: lelyana.pkmk@gmail.com

Website: http://manajemen-pelayanankesehatan.net/

Continue Reading

19 Feb2018

Menilai Dimensi Akseptabilitas Intervensi Kesehatan

19/02/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

acceptability

Akseptabilitas merupakan kemampuan untuk menerima atau merespon intervensi atau perlakuan tertentu. Kemampuan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dimiliki baik secara faktual maupun potensial yang mampu menggerakkan individu untuk menerima suatu tindakan atau perlakuan. Lebih lanjut akseptabilitas sangat dipengaruhi oleh persepektif terhadap konteks, konten dan kualitas yang ada. Dalam bidang kesehatan, akseptabilitas erat kaitannya dengan bagaiamana provider, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan memiliki sikap menghormati hak-hak pasien dan budaya yang berlaku dalam tatanan masyarakat dan sosial. Selain dari sisi provider, perspektif akseptabilitas juga perlu diperhatikan bagaimana respon pasien terhadap layanan yang diterima.

Perspektif pasien dan provider tentang akseptabilitas sama-sama bermanfaat bagi proses penyembuhan pasien (tujuan dari pengobatan). Dengan memperhatikan perspektif pasien tentang akseptabilitas dapat membantu provider untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Sedangkan perspektif provider tentang akseptabilitas dapat mendorong provider mengetahui level penerimaan terapi atau pengobatan yang diberikan sehingga dapat berdampak signifikan terhadap kesembuhan pasien. Untuk dapat mengetahui sejauhmana daya atau tingkat akseptabilitas pasien atau kelompok intervensi tertentu, maka provider kesehatan perlu melakukan kajian terhadap kondisi akseptabilitas. Dalam kondisi ini, untuk mendapatkan data dan informasi pengukuran yang akurat sangatlah tidak mudah karena dimensi akseptabilitas sendiri cukup kompleks. Akseptabilitas dapat dilihat dari dua dimensi yakni dimensi akseptabilitas treatment atau intervensi pengobatan dan dimensi akseptabilitas sosial yang merupakan akumulasi lingkungan di luar provider yang mempegaruhi keberhasilan sebuah intervensi pengobatan.

Untuk mendapatkan gambaran yang valid sejauhmana akseptabilitas terhadap intervensi yang diberikan, maka diperlukan pendekatan deduktif dan induktif untuk memahami akseptabilitas secara lebih komprehensif. Pendekatan tersebut merekomendasikan prospective akseptabilitas, Concurrent akseptabilitas dan retrospective akseptabilitas adalah dimensi kunci yang harus diperhatikan untuk mengetahui level atau tingkat akseptabilitas intervensi kepada pasien. Implikasi penerapan pendekatan tersebut adalah dimensi akseptabilitas diakomodir dalam semua tahapan intervensi kesehatan mulai dari desain, implementasi hingga proses evaluasi. Simak artikel selengkapnya di sini.

Continue Reading No Comments

  • 1
  • ...
  • 215
  • 216
  • 217
  • 218
  • ...
  • 270

Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar