• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
13 Nov2017

Mencapai Efektivitas, Efisiensi dan Keberlanjutan Program Kesehatan Melalui Pendekatan Intersectoral Convergence

13/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Intersectoral-Convergence

Kesehatan dan kehidupan yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi. Interaksi dari berbagai faktor menyebabkan hubungan saling mempengaruhi yang kompleks. Kondisi kompleksitas tersebut menunjukkan bahwa untuk mengukur sejauh mana kondisi kesehatan dan kesejahteraan hidup suatu negara tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja. Pengembangan kerja sama  lintas sektor merupakan suatu upaya meningkatkan kerjasama yang sinergis antara leading sector kesehatan dengan program non kesehatan dalam suatu kesamaan tujuan. Dengan kerja sama sinergis tersebut diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas, baik proses maupun hasil pembangunanya bagi masyarakat sebagai subyek pembangunan. Bahkan tidak sekedar menghasilkan output yang berkualitas, tetapi juga dapat menghasilakan outcome dan impact (multiplier effect).

Dalam bidang kesehatan, kerja sama lintas sektor mengindikasikan bahwa ada keterlibatan berbagai aktor atau organisasi dalam kegiatan merancang dan implementasi kebijakan kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tujuan terpenting dari kerja sama lintas sektor adalah mencapai kesadaran masyarakat yang lebih besar tentang kesehatan dan pelaksanaan kegiatan layanan publik di sektor non kesehatan  berdampak pada keadilan status kesehatan dari pengambilan keputusan dan kegiatan organisasi. Dengan demikian, apabila terjadi kerja sama maka manfaat yang didapat adalah meningkatnya ektivitas, efisiensi dan keberlanjutan dari program dan intervensi. Selain berdampak positif, kerja sama lintas sektor juga menemukan beberapa permasalahan. Permasalahan yang dihadapi dalam lintas sektor adalah ketika peran masing-masing sektor tidak jelas, mekanisme koordinasi yang kurang dipahami masing-masing kelompok yang terlibat, dan proses mandaris serta pendelegasian tugas terhambat akibat keterbatasan kapasitas sumberdaya pada level tertentu. Di sisi  lain, kerja sama lintas sektor dalam prosesnya semestinya harus menyeimbangkan antara “who” dan “how”. Setiap aktor yang terlibat harus jelas dan kompatibel dalam peran dan kontribusinya. Untuk menjamin kerja sama lintas sektor yang efektif, efisien dan berkelanjutan maka diperlukan “integrasi yang luar biasa”. Integrasi yang dimaksud adalah integrasi berkelanjutan dari berbagai dimensi dan aktivitas yang telah ada.

Kim et al (2017) memperkenalkan intersectoral convergence sebagai pendekatan terbaru untuk mewujudkan integrasi yang berkelanjutan. Intersectoral Convergence mencakup empat level kerja sama lintas sektor yaitu integrasi; kolaborasi; koordinasi dan kooperatif. Integrasi merupakan level tertinggi hubungan lintas sektor yang ditandai dengan partisipasi dalam struktur lintas sektor dan share kapasitas dan sumber daya. Kolaborasi merupakan aktivitas peran dan sumberdaya untuk mencapai tujuan bersama. Koordinasi merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersama tetapi tidak terstruktur. Kooperatif merupakan level intersectoral convergence yang paling rendah yang ditandai dengan sharing informasi dan data tetapi kegiatan masih dilakukan secara terpisah oleh masing-masing organisasi atau aktor.

Model pembangunan kesehatan di era desentralisasi saat ini, perlu memperhatikan kondisi natural dan kebutuhan lokal sekaligus mengakomodasi tujuan pembangunan kesehatan secara nasional. Pendekatan intersectoral convergence sangat membantu pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi level kerja sama lintas sektor baik  di tingkat pusat, provinsi, kabupaten kota sehingga dapat dilakukan pemetaan yang komprehensif tentang peran dan keterlibatan masing-masing aktor dan organisasi dalam pembangunan kesehatan. Selain itu pendekatan tersebut juga mengakomodir persoalan kompleksitas urusan administrasi dan operasional teknis lewat pertimbangan kongkurensi antara tingkat pusat dan daerah. Dengan demikian terjadi kejelasan antara siapa saja (who) yang terlibat dan bagaiamana (how) peran mereka dalam mendukung peningkatan status kesehatan. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi intersectoral convergence dalam pemberian layanan kesehatan esensial dapat disimak di sini

Continue Reading No Comments

13 Nov2017

KERANGKA ACUAN KERJA WORKSHOP PEMBAHASAN DRAFT NASKAH AKADEMIS SKP RIAU

13/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Agenda Mendatang

KERANGKA ACUAN KERJA

WORKSHOP PEMBAHASAN DRAFT NASKAH AKADEMIS SKP RIAU

 

Pekanbaru, Rabu 15 November  2017

pengantar-transLatar Belakang    

Dari perspektif sistem kesehatan, Provinsi Riau menghadapi 3 (tiga) tantangan besar yaitu belum optimalnya status kesehatan masyarakat, belum seluruh penduduk terlindungi oleh jaminan kesehatan, dan masih banyaknya penduduk yang berobat ke negara tetangga (Malaysia dan Singapura). Banyaknya penduduk yang berobat ke luar negeri mengindikasikan masih adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Provinsi Riau. Dari perspektif sistem kesehatan, adanya 3 masalah tersebut mengindikasikan belum optimalnya penataan sistem kesehatan di Provinsi Riau.

Berdasarkan latar belakang demikian, solusi dari perspektif sistem yang tepat adalah melakukan penguatan sistem kesehatan atau Health System Strengthening, dalam hal ini penguatan Sistem Kesehatan Provinsi (SKP) Riau. Penguatan SKP Riau ini dimulai dari penyusunan Naskah Akademis SKP Riau sebagai dasar pengusulan regulasinya.

Sebagai langkah awal penyusunan Naskah Akademis SKP Riau, telah dilakukan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan di sektor kesehatan di Provinsi Riau dan workshop self assessment tentang situasi dan kondisi sistem kesehatan di Provinsi Riau saat ini. Tahap berikutnya adalah penyampaian hasil assessment situasi Sistem Kesehatan Provinsi Riau terkini dan penyampaian pokok-pokok Naskah Akademis SKP Riau.

Saat ini proses penyusunan Naskah Akademis SKP Riau telah sampai pada penyelesaian draft dokumen Naskah Akademis. Rumusan draft tersebut tentunya harus disosialisasikan, dibahas, dan disempurnakan para pemangku kepentingan kesehatan agar rumusan tersebut dapat dipahami dan terpenting dapat dipatuhi bersama pada saatnya nanti saat diberlakukan. Untuk itu, kontribusi pemikiran para pemangku kepentingan kesehatan tersebut sangat penting dalam workshop ini.

icon-tujuanTujuan

Tujuan Umum adalah membahas draft Naskah Akademis Sistem Kesehatan Provinsi Riau.

Tujuan Khusus:

  1. Diperolehnya kejelasan tentang pokok-pokok Naskah Akademis SKP Riau yang dirumuskan dalam draft dokumen;
  2. Tercapainya kejelasan tentang masukan dari para pemangku kepentingan fasyankes swasta terkait dengan hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab fasyankes swasta;
  3. Tercapainya kejelasan tentang masukan dari para pemangku kepentingan lintas sektor terkait dengan hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab lintas sektor;
  4. Diperolehnya masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan pokok-pokok Naskah Akademis SKP Riau secara keseluruhan;
  5. Tercapainya kesepakatan tentang rencana tindak lanjut kegiatan.
people-iconSasaran Peserta Peserta:
  1. Dinas Kesehatan Provinsi Riau (Eselon (II, III, dan IV)
  2. DPRD Provinsi Riau (Komisi E)
  3. Bappeda Provinsi Riau
  4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau
  5. Biro Hukum Pemda Provinsi Riau
  6. Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau
  7. Dinas Sosial Provisni Riau
  8. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Bencana Provinsi Riau
  9. RSUD Provinsi Riau
  10. RSUD 4 kabupaten/kota (Dumai; Meranti; Inhil; Kampar)
  11. Organisasi Profesi Kesehatan level Provinsi (IDI; IBI; PPNI; IAKMI)
  12. FK Unri
  13. BPJS Deputi Wilayah Riau, Sumbar, Jambi, dan Kepri
  14. LSM DKAP Provinsi Riau.
Icon-EvaluasiNara Sumber/ Fasilitator
  1. Kementerian Kesehatan RI
  2. Dinas Kesehatan Provinsi Riau
  3. PKMK FK UGM
jam_iconWaktu dan Tempat
  • Kegiatan ini dilakukan pada Rabu 15 November 2017
  • Tempat: Hotel Premiere Pekanbaru.
calendar_iconAgenda/Jadwal
Waktu Agenda Nara Sumber Metode
08.00 – 08.30 Registrasi
08.30 – 09.00 Pembukaan Ka Dinkes Provinsi Riau Kemenkes RI PKMK DK UGM
09.00 – 09.15 Rehat
09.15 – 10.00 Draft Naskah Akademis SKP Riau, dan masukan dari fasyankes swasta serta lintas sektor Dwi Handono Sulistyo CTJ
10.00 – 11.30 Masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan Draft Naskah Akademis SKP Riau Tim PKMK WS
11.30 – 12.00 Rencana Tindak Lanjut PKMK FK UGM
12.00 Penutup PKMK FK UGM Ka Dinkes Provinsi Riau
informasi-icon-2Pembiayaan
  • Kegiatan ini dibiayai oleh APBD Provinsi Riau 2017.
materi_iconPenutup

Demikian Kerangka Acuan Kerja ini disusun sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan. Dalam implementasinya, sangat terbuka peluang untuk dimodifikasi dan disempurnakan sesuai situasi dan kondisi yang berkembang.

Yogyakarta, 2 November 2017 a.n. Tim PKMK FK UGM     (DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes)
 

Continue Reading No Comments

09 Nov2017

Review Artikel Posting and transfer in the Ghanaian health system: a study of health workforce governance

09/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Cop Primer

Berbagai literatur di negara berkembang telah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi tenaga kesehatan untuk bekerja di tempat tertentu, antara lain: remunerasi, peluang peningkatan karir, kelengkapan fasilitas, akses untuk kehidupan yang mudah (ketersediaan sekolah untuk anak, pekerjaan untuk pasangan, infrastruktur jalan) dan akomodasi. Namun demikian, hanya sedikit artikel yang membahas bagaimana pengaruh dari ‘governance’ atau sistem pemerintahan terhadap distribusi tenaga kesehatan. Artikel ini bertujuan menggali kebijakan dan proses secara formal maupun informal yang mendukung praktek “Posting and Transfer” pada tingkat distrik.

Penelitian yang dilakukan di Ghana ini mengambil lokasi salah satu wilayah di ibukota, The Great Accra Region yang merupakan salah satu kota terpadat, sehingga dapat menjadi tujuan atau pilihan yang sangat menguntungkan untuk tenaga kesehatan sendiri. Penelitian ini membandingkan retensi tenaga kesehatan di tempat kerja di 2 distrik (di Indonesia, setara kecamatan), dimana distrik A dipandang sangat menguntungkan karena merupakan wilayah pedesaan dan kota kecil, sedangkan distrik B dipandang sebagai kota yang dihindari karena memiliki wilayah terluas dengan 167 komunitas yang tersebar. Ghana mengimplementasikan sistem posting and transfer bertujuan untuk pemerataan tenaga kesehatan di di semua tempat layanan kesehatan.  

Ghana memiliki Ghana Health Service (GHS) yang berada di bawah Ministry of Health (MoH) di tingkat pusat yang berfungsi sebagai badan pengelola pelayanan kesehatan publik. Kelembagaan GHS bersifat terdesentralisasi di tingkat nasional, regional, kabupaten dan sub-kabupaten. MoH berwenang dan bertanggung jawab pada perencanaan kesehatan, administrasi dan pengembangan tenaga kerja di seluruh agensi yang berbeda. GHS memiliki divisi sumber daya manusia yang bertanggung jawab untuk pelatihan, perencanaan dan pengelolaan tenaga kerja layanan kesehatan pada sektor publik yang dikelolanya.

Kebijakan posting dan transfer ini bertujuan untuk penyebaran tenaga kesehatan yang setara, sesuai dengan perencanaan dan kebutuhan setiap kabupaten. Kebijakan tersebut masih menyisakan persoalan tentang sistem insentif yang tidak membedakan antara pedesaan dan perkotaan sehingga memberi kontribusi terhadap ketidakmerataan staf. Kebijakan ini juga menerapkan prinsip “melatih dan mempertahankan” yang berarti bahwa lulusan baru dari institusi pelatihan MoH, bersedia untuk kembali ke tempat dimana mereka dilatih.  

Namun masih terdapat kelemahan dalam kebijakan ini, yaitu tidak adanya perbedaan insentif antara kota dan desa yang mengakibatkan ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan. Lebih jauh dari kebijakan ini yaitu adanya mekanisme lobi informal terhadap pengambil keputusan yang dikenal dengan “Who You Know” pada berbagai tingkat dan juga sifat hierarki sistem kesehatan yang menjadi isu lain. Tenaga kesehatan merasa harusnya ada informasi mengenai studi kelayakan maupun alasan mengapa mereka harus dipindahkan, sehingga mereka tidak memiliki pemahaman yang sama antara manajer dan staf pada berbagai tingkat. Fakta yang muncul dari kebijakan ini adalah kebanyakan staf merasa tidak berdaya untuk menolak penempatan dan jika ada yang berani, alasan utamanya adalah sudah memiliki kenalan yang mampu mengganti penempatan (Kwamie et al, 2017).

Artikel

Continue Reading No Comments

07 Nov2017

Pengantar: 7 – 13 November 2017

07/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Pengantar

Strategi Membawa Inovasi Program Public Health Ke Masyarakat

start-up-funding 

Keberhasilan pengembangan bidang public health (kesehatan masyarakat) sampai saat ini masih menjadi sorotan masyarakat dan praktisi kesehatan dunia. Selain banyak ditemukan penerapan strategi multidisipliner untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan kesehatan dari perspektif promotif dan preventif, public health saat ini menghadapi tantangan dalam mempertahankan keberhasilan program secara berkelanjutan akibat berbagai keterbatasan yang dihadapi. Paradigma keberlanjutan untuk outcome kesehatan di dalam masyarakat (kelompok sasaran) seperti perubahan perilaku, rate penyakit dan partisipatif menjadi riskan manakala para pengambil kebijakan dan praktisi public health dihadapkan pada persoalan yang mengharuskan mereka mengembangkan konsep baru pemecahan masalah, berani mengambil resiko dan mengembangkan kemitraan yang bersifat multi dimensi. Kondisi tersebut pada akhirnya mengharuskan pembuat kebijakan dan praktisi public health menyusun dan mengembangkan best practice atau model perencanaan yang kompatibel. Namun, tuntutan tersebut tidak didukung dengan kemampuan dan kreativitas yang memadai dari pembuat kebijakan dan praktisi bidang public health.

Selengkapnya

Continue Reading No Comments

07 Nov2017

Strategi Membawa Inovasi Program Public Health Ke Masyarakat

07/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

start-up-funding 

Keberhasilan pengembangan bidang public health (kesehatan masyarakat) sampai saat ini masih menjadi sorotan masyarakat dan praktisi kesehatan dunia. Selain banyak ditemukan penerapan strategi multidisipliner untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan kesehatan dari perspektif promotif dan preventif, public health saat ini menghadapi tantangan dalam mempertahankan keberhasilan program secara berkelanjutan akibat berbagai keterbatasan yang dihadapi. Paradigma keberlanjutan untuk outcome kesehatan di dalam masyarakat (kelompok sasaran) seperti perubahan perilaku, rate penyakit dan partisipatif menjadi riskan manakala para pengambil kebijakan dan praktisi public health dihadapkan pada persoalan yang mengharuskan mereka mengembangkan konsep baru pemecahan masalah, berani mengambil resiko dan mengembangkan kemitraan yang bersifat multi dimensi. Kondisi tersebut pada akhirnya mengharuskan pembuat kebijakan dan praktisi public health menyusun dan mengembangkan best practice atau model perencanaan yang kompatibel. Namun, tuntutan tersebut tidak didukung dengan kemampuan dan kreativitas yang memadai dari pembuat kebijakan dan praktisi bidang public health.

Model perencanaan yang kompatibel adalah  model yang didesain untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari sasaran atau masyarakat. Untuk menghasilkan model perencanaan yang kompatibel maka sangat diperlukan inovasi. Inovasi bukan berarti selalu baru tetapi merupakan terobosan untuk mengembangkan dan menerapkan strategi sesuai dengan kebutuhan sasaran. Inovasi menjadi solusi yang cukup efektif manakala hasil dari pelaksanaan inovasi mampu menghindarkan program dari kegagalan dan memberikan dampak positif ketika program berakhir. Alasan mendasar perlunya model perencanaan yang kompatibel dalam public health didasari oleh pertimbangan bahwa model perencanaan klasik (tradisional) memang masih dapat digunakan tetapi pembuat kebijakan dan praktisi perlu melakukan akselerasi melalui pengembangan inovasi. Selain itu, model perencanaan klasik masih belum mampu mengatasi  penghambat efektivitas program yaitu 1) proses perencanaan yang berjalan linear sehingga solusi yang diberikan dipaksakan untuk diimplementasikan pada semua keadaan dan situasi; 2) sumber pendanaan sangat terbatas dan tidak stabil karena sangat bergantung pada pemerintah; serta 3) alokasi pendanaan tidak mampu menjamin outcomes program yang dilaksanakan.

Untuk memudahkan pembuat kebijakan dan praktisi melakukan perencanaan yang inovatif (kompatibel) dalam bidang public health maka Lister et al. (2017) telah mengembangkan model inovasi dalam bidang kesehatan yang dikenal dengan Public Health Innovation Model (PHIM). Model PHIM mengkombinasikan dan mengintegrasikan desain model berpikir sektor swasta dengan model perencanaan klasik (tradisional) dan berfokus lebih dekat pada outcomes program. Inovasi yang dimaksudkan dalam model PHIM adalah inovasi yang mampu menyeimbangkan antara peran pemerintah, swasta dan masyarakat dengan membandingkan model perencanaan di sektor pemerintah dan swasta.

Dua hal yang bisa diadopsi dari perencanaan sektor swasta (bisnis) adalah pertama pembuat kebijakan harus mengembangkan solusi yang inovatif. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan pola pikir dalam pemecahan masalah yang dimulai dari konsumen dan berfokus pada sisi demand manusia, berdasarkan hasil penelitian, kolaboratif dan iterasi. Kedua, pembuat kebijakan dan praktisi harus berupaya mengakses sumber pendanaan swasta yang bisa digunakan melalui CSR untuk menjamin keberlangsungan dukungan pendanaan program.

Selain itu, model PHIM juga memberikan beberapa strategi yang harus diperhatikan oleh pembuat kebijakan dan praktisi ketika mengimplementasikan dan mengadopsi model ke dalam kegiatan atau program sehari-hari. Untuk mencapai keberhasilan inovasi maka strategi yang harus dilakukan adalah kerja sama lintas sektor, menumbuhkan community buy-in, otonomi (kemandirian) dan kreativitas. Kerja sama lintas sektor (cross-collaboration) bertujuan untuk membangun kemitraan dan sharing risk dan sumber daya sehingga dapat mengatasi keterbatasan sumber daya suatu program. Community buy-in menekankan dua prinsip yang harus diperhatikan yakni menciptakan kebutuhan masyarakat akan program atau kegiatan dan yang kedua mampu membaca level inovasi dan momentum yang tepat untuk mentransfer inovasi ke dalam sasaran program. Otonomi menekankan pada kemandirian dan kemampuan untuk melaksanakan inovasi. Kreativitas mengarah pada kemampuan untuk menciptakan ide dan inovasi melalui kegiatan yang bersifat sharing ide. Artikel selengkapnya klik di sini

 

Continue Reading No Comments

  • 1
  • ...
  • 224
  • 225
  • 226
  • 227
  • ...
  • 270

Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar