• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
10 Aug2017

Workshop Pembahasan Draft Awal Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Dalam Rangka Uji Coba Pendampingan Sinkronisasi RPJMD Dengan RPJMN Subbidang Kesehatan Dan Gizi Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo

10/08/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Sinkronasi

Reportase

Workshop Pembahasan Draft Awal Sinkronisasi RPJMD – RPJMN dalam Rangka Uji Coba Pendampingan Sinkronisasi RPJMD dengan RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo

 

Selasa, 8 Agustus 2017

Kabupaten Kulon Progo adalah salah satu daerah yang baru saja menyelenggarakan pemilukada pada 15 Februari 2017. Bupati dan Wakil Bupati Kulon Progo telah dilantik pada 22 Mei 2017.  Saat ini Kabupaten Kulon Progo tengah menyusun RPJMD yang baru sehingga Kabupaten Kulon Progo dijadikan sebagai salah satu daerah uji coba untuk pendampingan sinkronisasi RPJMD – RPJMN.  Pendampingan sinkronisasi RPJMD – RPJMN di Kabupaten Kulon Progo sementara dilaksanakan dan dalam rangka tindak lanjut Pertemuan Sosialisasi dan Audiensi Rencana Uji Coba Pendampingan Sinkronisasi RPJMD – RPJMN pada 6 Juli 2017 di Bappeda DIY, Workshop Awal di Kabupaten Kulon Progo pada Jumat 14 Juli 2017, dan pertemuan koordinasi dan pendampingan sinkronisasi di Kabupaten Kulon Progo 25 Juli 2017, maka dilaksanakan Workshop Pembahasan Draft Awal Sinkronisasi RPJMD – RPJMN di Kabupaten Kulon Progo pada 8 Agustus 2017.

Tujuan kegiatan ini dilaksanakan yaitu membahas draft awal sinkronisasi RPJMD – RPJMN yang telah disusun oleh Tim Kabupaten Kulon Progo. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, peserta yang hadir yaitu Tim Bappeda Kabupaten Kulon Progo, Tim Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, Tim sinkronisasi Provinsi D.I. Yogyakarta, Tim sinkronisasi Kota Yogyakarta, perwakilan dari Kemenkes, perwakilan dari Bappenas, beserta Fasilitator dan Tim PKMK FK UGM.

Gambar 1. Ketua Tim PKMK FK UGM membuka pelaksanaan kegiatan

Gambar 1. Ketua Tim PKMK FK UGM membuka pelaksanaan kegiatan

Workshop dibuka oleh Ketua Tim PKMK FK UGM DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi awal atau sharing mengenai bagaimana proses dalam sinkronisasi, apakah ada kesulitan yang dihadapi, dan bagaimana  dinamikanya baik di Kabupaten Kulon Progo maupun di Kota Yogyakarta, sehingga bisa menjadi pembelajaran dalam proses sinkronisasi ini.

Tim Kabupaten Kulon Progo menyampaikan bahwa Kabupaten Kulon Progo sementara dalam penyusunan RPJMD dan dalam penyusunan mengacu pada Permendagri Nomor 54 tahun 2010 dan arahan Kemenpan-RB. Kemudian, yang menjadi kesulitan dalam sinkronisasi yaitu dalam sinkronisasi ini harapannya semua indikator yang ada di RPJMN dapat dimasukkan dalam RPJMD, tetapi di Kabupaten Kulon Progo tidak semua indikator dimasukkan. Melainkan memilih indikator mana yang dominan dan indikator mana yang dapat menggambarkan indikator yang lainnya sehingga tidak semua indikator dalam RPJMN dimasukkan. Namun, setelah melaksanakan diskusi kembali disepakati untuk mengikuti apa yang ada di SEB dimana semua indikator dimasukkan. Selanjutnya, Tim Kota Yogyakarta menyampaikan proses yang sementara dilaksanakan hampir sama dengan proses di Kabupaten Kulon Progo. Dalam proses sinkronisasi, indikator yang ada di RPJMN tidak semua dimasukkan dalam RPJMD tetapi pola yang dilakukan oleh Kota Yogyakarta yaitu memilih mana yang akan dimasukkan di RPJMD dan yang lainnya dimasukkan dalam Renstra Dinas Kesehatan. Prinsipnya semua indikator dimasukkan tetapi penuangannya di modifikasi oleh daerah sesuai keadaan daerah. Setelah diskusi dilanjutkan dengan pemaparan materi tentang Surat Edaran Bersama (SEB) penyelarasan RPJMD – RPJMN yang disampaikan oleh Ketua Tim PKMK FK UGM.

Gambar 2. Tim Kabupaten Kulon Progo sedang mempresentasikan draft awal sinkronisasi

Gambar 2. Tim Kabupaten Kulon Progo sedang mempresentasikan draft awal sinkronisasi

Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian dan pembahasan draft awal hasil sinkronisasi RPJMD – RPJMN oleh Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Dalam berproses di Kabupaten Kulon Progo belum semua tahapan sinkronisasi dilakukan seperti dalam modul maupun dalam SEB. Sedangkan, Tim Kota Yogyakarta sudah melakukan tahapan sinkronisasi seperti yang ada di modul sinkronisasi.

Gambar 3. Suasana diskusi pembahasan draft awal sinkronisasi

Gambar 3. Suasana diskusi pembahasan draft awal sinkronisasi

Workshop ini memunculkan 2 versi penginterpretasian pedoman penyelarasan/sinkronisasi khususnya terkait acuan dari Kemenpan-RB tentang Indikator Tujuan. Dalam modul dan SEB tidak menyinggung masalah ini tapi sangat mempengaruhi “alur” sinkronisasi. Pertama versi dari Kabupaten Kulon Progo yaitu mengadopsi sepenuhnya acuan Kemenpan-RB sehingga semua indikator diagregatkan ke dalam Indikator Tujuan, dan agregat tersebut kemudian dijabarkan dalam program Dinas Kesehatan. Kedua, versi dari Kota Yogyakarta dimana Kota Yogyakarta tidak mengadopsi acuan Kemenpan-RB sehingga tidak ada agregat Indikator Tujuan sehingga indikatornya menjadi sangat banyak. Semua indikator tersebut selanjutnya dipilah dan dipilih serta dikelompokkan ke dalam 4 program Dinas Kesehatan.

Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan kegiatan ini yaitu Tim PKMK siap mendampingi proses sinkronisasi hingga selesai, untuk jadwal pertemuan disesuaikan dengan agenda masing-masing daerah uji coba pendampingan. Selanjutnya, pada tahap akhir pendampingan akan dilakukan pertemuan besar untuk presentasi hasil sinkronisasi di semua daerah uji coba pendampingan.

Continue Reading No Comments

10 Aug2017

Webinar Series II: Refreshing Teknik Pendampingan Penyusunan Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat

10/08/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Sinkronasi

Reportase

Webinar Series II: Refreshing Teknik Pendampingan Penyusunan Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Senin, 7 Agustus 2017

Webinar Series II adalah rangkaian kegiatan Refreshing Teknik Pendampingan Penyusunan Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang merupakan bagian dari kegiatan uji coba pendampingan sinkronisasi RPJMN-RPJMD. Webinar tahap kedua ini membahas mengenai Surat Edaran Bersama (SEB) Penyelarasan RPJMD -  RPJMN, dan Revisi Buku Kerja Sinkronisasi Berdasarkan SEB.

Gambar 1. Nara Sumber dan Moderator

Gambar 1. Nara Sumber dan Moderator

Sebagai narasumber dalam webinar tahap kedua ini yaitu Ketua Tim PKMK FK UGM, Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes dan sebagai moderator yaitu Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH. Peserta webinar terdiri dari semua calon fasilitator yang telah lulus dalam pelatihan Calon Fasilitator Pendamping Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat pada 18 November – 16 Desember 2016 dan peserta lain yang memiliki minat untuk mendalami tema sinkronisasi.

Dalam pemaparan materi di sesi pertama yaitu mengenai Surat Edaran Bersama (SEB) Penyelarasan RPJMD – RPJMN, disampaikan bahwa Surat Edaran Bersama (SEB) diterbitkan pada 23 Desember 2016, SEB merupakan petunjuk pelaksanaan dalam rangka penyelarasan RPJMD – RPJMN yang dikeluarkan oleh dua kementerian yaitu Kemendagri dan Kementerian PPN/Bappenas. Dalam isi SEB pada poin yang ke-4, dicantumkan bahwa ada 6 hal yang perlu disinkronisasi yaitu penyelarasan isu strategis pembangunan daerah; penyelarasan visi, misi, tujuan, dan sasaran pembangunan daerah; penyelarasan strategi dan arah kebijakan pembangunan daerah; penyelarasan kerangka pendanaan program pembangunan daerah; dan penyelarasan indikasi lokasi pelaksanaan kegiatan strategis nasional di daerah. Perbedaan dengan modul sinkronisasi yang digunakan yaitu pada modul ditambah 2 hal yang juga perlu yaitu analisis situasi dan target. Target dianggap penting karena indikator harus muncul dalam target, sehingga perlu ditambahkan. Selanjutnya, SEB diterbitkan untuk petunjuk pelaksanaan dalam penyelarasan RPJMD – RPJMN bagi daerah yang melaksanakan pemilukada serentak pada 2017, agar melakukan penyelarasan dengan RPJMN 2015-2019 dengan mengikuti petunjuk pelaksanaan dalam lampiran SEB. SEB diterbitkan sebagai salah satu cara cepat dalam membuat dasar hukum, karena SEB bersifat temporer  dan segera.

Kemudian, dalam penyusunan perencanaan di daerah umumnya bersifat 3 pendekatan yaitu pendekatan politis, pendekatan teknokratis, dan pendekatan pertisipatif. Untuk penyelarasan RPJMD – RPJMN, yaitu pada domain pendekatan teknokratis antara perencanaan dan pelaksanaan. Untuk domain politik tidak diselaraskan karena menyangkut visi dan misi dari setiap kepala daerah.

Webinar-Series-2-2

Dalam Surat Edaran Bersama terdapat 6 strategi penyelarasan RPJMD dengan RPJMN. Strategi pertama yaitu Penyelarasan Isu Strategis Pembangunan Daerah. Dalam SEB terdapat 10 isu strategis sub bidang kesehatan dan gizi masyarakat, dan isu strategis ini sudah dimasukkan dalam modul sinkronisasi. Selanjutnya, strategi kedua yaitu penyelarasan sasaran pokok pembangunan nasional, untuk sasaran pokok pembangunan nasional ada 12 sasaran terkait dengan kesehatan dan sudah tercantum dalam SEB. Sehingga masing-masing daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dapat menjabarkan sasaran pokok tersebut sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Strategi ketiga yaitu penyelarasan strategi dan arah kebijakan. Pemerintah pusat juga telah membuat strategi dan arah kebijakan, sehingga setiap Provinsi maupun Kabupaten/Kota dapat menyelaraskan strategi dan arah kebijakan dari pusat ke level provinsi maupun kabupaten/kota. Provinsi dan Kabupaten/Kota juga dapat memunculkan strategi dan arah kebijakan yang spesifik dengan keadaan maupun kondisi dari daerah masing-masing. Strategi keempat yaitu strategi penyelarasan program prioritas pembangunan daerah, dan pemerintah pusat juga telah mencantumkan program prioritas nasional dalam SEB. Strategi kelima yaitu penyelarasan kerangka pendanaan dan strategi keenam yaitu penyelarasan indikasi lokasi. Modul dan SEB bukan pedoman untuk penyusunan RPJMD. Tetapi, SEB merupakan petunjuk pelaksanaan untuk menilai apakah RPJMD yang disusun oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah selaras dengan RPJMN. Kemudian, setelah pemaparan sesi pertama mengenai Surat Edaran Bersama dilanjutkan dengan diskusi dalam bentuk tanya jawab.

Selanjutnya, pemaparan materi sesi kedua yaitu mengenai Revisi Buku Kerja Sinkronisasi Berdasarkan SEB. Dalam penyampaian materi ini disampaikan bahwa revisi buku kerja masih dalam pemikiran awal atau rancangan awal bukan final karena revisi akan dilaksanakan setelah selesai pelaksanaan uji coba pendampingan. Pertama, untuk tahap 1 yaitu analisis situasi tetap akan dimasukkan dalam modul karena analisis situasi adalah dasar untuk tahap 2 dan selanjutnya. Tahap 2 yaitu isu strategis tetap dan tidak ada perubahan, namun ada perbedaan sedikit. Tahap 3 yaitu sasaran pembangunan daerah ada perubahan, visi dan misi tidak disinkronkan karena itu adalah domain politik, sehingga yang diselaraskan yaitu sasaran/sasaran indikator/impact. Tahap 5 yaitu sinkronisasi strategi dan arah kebijakan daerah, ini sudah masuk dalam domain teknokratis sehingga dapat diselaraskan, dan tentunya berangkat dari sasaran yang sama. Selanjutnya untuk tahap 6, 7, dan 8 juga termasuk dalam domain teknokratis sehingga bisa diselaraskan antara pusat dan daerah. Dalam modul sinkronisasi mengacu pada SEB, dan tabel-tabel ini ada lembar kerja yang dapat memudahkan dalam proses sinkronisasi. Dalam modul ditambah dengan 2 tahapan khusus seperti yang telah disebutkan diatas yaitu ditambah tahap 1 analisis situasi dan masalah kesehatan; dan tahap 4 sinkronisasi target sasaran. Salah satu target dari hasil uji coba pendampingan sinkronisasi yaitu adanya revisi modul, sehingga point-point ini masih bersifat hipotesis dan revisi modul akan dilaksanakan setelah mendapat hasil dari uji coba pendampingan.

Pelaksanaan kegiatan Webinar Series: Refreshing Teknik Pendampingan Penyusunan Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat akan dilanjutkan dengan webinar tahap III dan akan dilaksanakan pada Senin, 14 Agustus 2017.

Continue Reading 1 Comment

09 Aug2017

Push for value-based care fuels burnout at community health centers

09/08/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Berita

Community health centers, which offer primary care to approximately 24.3 million low-income individuals, are known for their high rates of employee turnover because of the stress associated with caring for complex patients on a fee-for-service pay model.

But efforts to transform care delivery at these centers to value-based approaches also contribute to workplace dissatisfaction and burnout, according to a new study published in Health Affairs.

Researchers found that clinicians and support staff at community health centers working to achieve medical home recognition reported over a one-year period that their professional satisfaction declined by 10% and feeling burned out increased by 8%. More staff members also said they would leave.

“Things got worse across the board over a short period of time, which is concerning,” said Mark Friedberg, an author of the study and a senior natural scientist at the RAND Corp.

The study evaluated workplace satisfaction at 296 centers that were part of the CMS’ Advanced Primary Care Demonstration in which the centers were expected to achieve medical home recognition. In the medical home model, primary-care physicians lead a team of professionals—including nurse practitioners, physician assistants, pharmacists, health educators and medical assistants—who take responsibility for providing or facilitating comprehensive, coordinated and accessible care for a panel of patients, looking at the health of the individuals and of the whole group. Team members also work closely with patients to engage them in taking care of themselves.

Friedberg said the CMS demonstration centers were particularly targeted because the agency was curious to see how it affected staff as they grappled with delivery model changes.

To understand how workplace satisfaction changed over time, Friedberg and his co-authors sent out one set of surveys in 2013 and another set in 2014. In total, 236 clinicians and 328 support staff responded.

The study found that overall satisfaction declined from 84.2% to 74.4% and rates of burnout increased from 23% to 31.5%. The number of respondents who said they were likely to leave within two years increased from 29.3% to 38.2%. In addition, the proportion of respondents who said the practice atmosphere was hectic or chaotic rose from 31.6% to 40.1%.

In order to achieve the medical home designation, the centers sometimes had to make practice changes that could be stressful, such as upgrading their electronic-health records and taking on a more coordinated-care approach.

Although Friedberg said it’s impossible to know from just the surveys if the CMS demonstration was the sole cause of dissatisfaction or if there were other factors at play, it’s important to look at the issues of burnout and dissatisfaction among clinicians as value-based care continues to take hold.

“We need to be tackling the kinds of things we surveyed on a more ongoing basis,” he said. “As we do things like MACRA, it could make circumstances better or worse for clinicians.”

Source: modernhealthcare.com

Continue Reading No Comments

09 Aug2017

Tekan Peredaran Narkoba, Dinkes Enrekang Bentuk Pojok Konseling Adiksi di Setiap Desa

09/08/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Berita

ENREKANG - Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulsel dan Dinas Kesehatan Enrekang menggelar workshop dukungan aksebilitas layanan rehabilitasi melalui pojok konseling adiksi.

Workshop tersebut digelar di Aula Hotel Sabindo, Jl Arif Rahman Hakim, Kelurahan Juppandang, Kecamatan Enrekang, Selasa (8/8/2017).

Acara dihadiri oleh Kepala Bidang rehabilitasi BNN Sulsel, Sudarianto dan diikuti oleh kepala puskesmas se-Kabupaten Enrekang, pemegang program Nafza dan bidan desa.

Dalam acara tersebut, Kepala Dinkes Marwan Ganoko mengatakan, Enrekang adalah kabupaten yang rawan kasus narkoba.

Itu dikarenakan posisinya diapit oleh kabupaten yang terindikasi sebagai pemasok narkoba yaitu Kabupaten Sidrap, Pinrang dan Tana Toraja.

“Kita harus fokus melakukan pencegahan dan penanganan narkoba menuju Enrekang Bebas Narkoba,” kata Marwan Ganoko.

Ia menjelaskan, setiap tahun kasus narkoba di Enrekang terus meningkat, untuk itu akan dibuat Pojok Konseling Adiksi di setiap desa.

Kabid Rehabilitasi BNN Sulsel Sudarianto berharap keberadaan pojok konseling adiksi dapat membantu pecandu lepas belenggu narkoba.

“Pondok ini sangat penting, untuk membantu para korban lepas dari masalahnya,” ujarnya.

Dalam kegiatan itu, para peserta diajarkan cara menangani para korban adiksi di pojok konseling sebelum direhabilitasi.(*)

Sumber: tribunnews.com

Continue Reading No Comments

09 Aug2017

Diskusi Webinar Beban Kerja dan insentif tenaga kesehatan

09/08/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Reportase Kegiatan

Diskusi Webinar

Beban Kerja dan insentif tenaga kesehatan :

Pengalaman di RS dan bagaimana peluangnya di Puskesmas.

Pembicara :

  1. dr Likke Prawidya Putri, MPH
  2. Dr. dr Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS

Pembahas :

  1. Kepala Pusrengun SDMK, BPPSDM Kemenkes RI

    Emmilya Rossa, SKM, MPH

  2. Kasubbid Pelayanan Puskesmas, Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer.

    Ganda Raja Partogi Sinaga, MKM

Moderator : Shita Dewi, PHD

Notulensi :

Pembukaan oleh dr. Likke

Latar belakang :

Adakah kaitan antara insentif dan kinerja petugas? Didalam dunia pelayanan kesehatan selama ini dikenal dengan jasa pelayanan atau jasa medis, dimana dokter ataupun perawat mendapatkan pembayaran sesuai dengan pasien yang ditangani. Jadi misalkan saya seorang dokter bekerja disebuh klinik, satu hari mendapatkan sepuluh pasien dan dari satu pasien saya mendapatkan sepuluh ribu, maka saya mendapatkan Rp 100.000 untuk satu hari. Perlakuan seperti ini diberi nama fee for services, fee yang dibayar oleh provider sesuai dengan service yang diberikan. Di era JKN, satu revolusi pembayaran yang dilakukan, dimana ada perubahan dari fee for services menjadi kapitasi, berbeda dengan fee for services, pembayaran kapitasi berdasarkan perkepala pasien dan tidak peduli berapa kali pasiennya datang. Ini merupakan perbedaan utama fee for services dan kapitasi. Fee for services bersifat retrospective dimana pembayaran yang dilakukan berdasarkan apa pelayanan yang diberikan, sedangkan kapitasi bersifat propestive, dimana pembayaran dilakukan sebelum pelayanan diberikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin sedikit pelayanan yang diberikan kepada pasien, maka semakin banyak pendapatan yang diterima providernya.

Berdasarkan keputusan bersama antara BPJS dan kementerian kesehatan, saat ini sedang dijalankan program kapitasi berbasis komitmen pelayanan. Jadi pembayaran kapitasi berdasarkan 3 indikator utama : 1). Angka kontak, 2) Angka rujukan non spesialistik dan 3) angka kunjungan prolanis. Artinya semakin baik angka pencapaian indikator ini maka yang dibayarkan kepada provider semakin banyak demikian sebaliknya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada bapak fahmi idris, diharapkan dari sistem pembayaran ini dapat meningkatkan performa dari FKTP di era JKN.

Bagaimana pembayaran kapitasi ditingkat individu?

Pada permenkes no 21 tahun 2016 mengenai jasa pelayanan dan kapitasi, ini berlaku untuk puskesmas maupun fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah yang belum menganut sistem BLUD sekurang – kurangnya 60 persen dari kapitasi diberikan untuk pemberian jasa pelayanan. Pembagian jasa pelayanan ini berdasarkan tiga indikator utama yaitu pertama, jenis ketenagaan, : dokter, perawat, bidan. Misalnya dokter mendapatkan 150 poin, perawat yang D3 mendapatkan 60 poin dan apoteker mendapatkan 100 poin dan lain sebagainya; kedua, kehadiran dan yang terakhir ada tugas rangkap, terutama petugas administrasi. Jadi misalnya seorang itu merupakan dokter dan kepala puskesmas maka akan mendapatkan 100 poin lagi, apabila dia merangkap sebagai bendahara JKN lagi maka dia mendapatkan 50 poin, dan apabila seseorang merangkap menjadi pengelola program maka akan mendapatkan 10 poin. Jadi kesimpulan yang dapat dilihat bahwa ada gap antara sistem  pembayaran FKTP dibayar berdasarkan fee for performance namun untuk tenaga kesehatan dibayarkan jenis ketenagaan, tugas rangkap maupun kehadiran atau berdasarkan inputnya.

Berdasarkan wawancara terhadap seseorang dari pemerintahan yang memiliki dua staff, yang satunya datang jam 8 pulang jam 6 namun tidak ada performance dan yang satunya datang jam  8 juga pulang jam 6 dengan beban kerja yang banyak dibayarkan sama, yaitu pembayaran berdasarkan kehadiran tanpa mempedulikan performance. Berdasarkan situasi tersebut, maka perlu adanya penguatan sistem insentif di puskesmas, yang tidak semata-mata berdasarkan pelayanan terhadap pasien, tetapi juga berdasarkan kunjungan kepada masyarakat , pelayanan outreach, pengelolaan program dan selanjutnya.

Andreasta Meliala.

Pasien bisa langsung membayarkan ke puskesmas melalui dua jalur yaitu out of pocket atau melalui asuransi kesehatan. Apakah pasien mendapatkan pelayanan sama? sistem jaminan kesehatan nasional mendorong adanya sistem pembiayaan nasional dan juga mendorong sistem pelayanannya berubah dan terakhir perubahan pada system pembayaran tersebut. Ini menjadi pengalaman di berbagai negara yang menjalankan Universal Health Coverage.

Ada 3 tingkat pelayanan kesehatan yaitu Fasilitas kesehatan tingkat primer yang menjadi kontak pertama pasien dengan institusi pelayanan kesehatan, sekunder dan tersier. Terdapat fungsi yang sangat berbeda, karena FKTP menjadi gate keeper agar kasus- kasus yang tidak layak diobati dan ditangani di tingkat sekunder tidak perlu dirujuk. Fungsi FKTP mencakup banyak keluhan kesehatan dan masuk juga di daerah promotif, preventif dan surveillance. Dan kalau dilihat lebih lanjut continue of care paling lengkap berada pada FLKP, walaupun kedalaman kasus atau security of cases nya tidak setinggi kasus-kasus yang ada disekunder maupun tersier dalam tindakan-tindakan kuratif. Sehingga fungsi utama gate keeper harus tetap dijalankan. Primer merupakan gate keeper untuk membatasi tindakan yang tidak perlu ditangani oleh tingkat lanjutan. Seberapa baik FKTP menjadi organisasi yang dapat menjaga efisiensi sebagai FKTP.

Dalam sisteme pembayaran jasa pelayanan yang beruabah dari retrosepektif menjadi prospektif, harapannya adalah organisasi maupun institusi itu mendapatkan bayaran berbasis kinerja. Kendali mutu dan kendali biaya merupakan dua hal yang harus dijadikan satu paket, sehingga sangat penting bagi kita untuk menilai kinerja yang berhubungan dengan pemabayaran yang berhubungan insurance atau BPJS kepada institute pelayanan kesehatan. Ada tiga jenis konsep pembiayaan yaitu, financing, fund holding dan remuneration.

Selain membicarakan mengenai sistem pembiayaan, kita juga harus membicarakan mengenai sistem manajemen SDM kesehatan, reward merupakan komponen kunci dalam siklus manajemen. Ada planning yang berhubungan dengan human resources, ada proses recruitment setelah itu aka nada proses orientasi setelah lulus orientasi akan di training dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan organisasi lalu dinilai kinerja, dan akan mendapatkan reward atau punishment (dissreward). Sehingga sebelum kita memberikan reward kita harus melakukan penilaian.

Kerangka konsep peningkatan kinerja bahwa ada komponen – komponen kompotensi dan komitmen yang menjadi indikator penilaian kinerja sehingga dapat diberikan reward. Rimunirasi merupakan total compensation yang harus diberikan kepada seluruh tenaga kesehatan, contohnya di puskesmas itu ada 4 kelompok SDM yaitu kelompok medis, dan pekerjaannya teknis medis yaitu SDM klinis, adapula kelompok medis yang mempunyai pekerjaan non klinis contohnya kepala puskesmas, ada pula yang bukan merupakan kelompok medis namun pekerjaannya teknis medis misalnya petugas rekam medis. Dan terakhir ada pula bagian yang merupakan pekerja non klinis dan bukan merupakan pekerja teknis medis yaitu bagian administrasi.

Kinerja terdiri dari tiga komponen motivasi, ability, dan kesempatan kerja, dan insentif akan berhubungan pada komponen motivasi. Sehingga kita dapat mengetahui bahwa insentif itu berkaitan dengan motivasi bukan kompetensi.

Kinerja akan berbeda ketika kita menilai kelompok manajemen berdasarkan hasil perkalian antara motivasi dan kemampuan dibagi dengan angka barrier. Ketika barrier dalam kelompok manajemen semakin kecil atau dapat diatasi maka semakin baik kinerja dari kelompok manajemen. Sehingga tujuan dari adanya remunerasi itu untuk menjadi pedoman untuk memberikan kompensasi berdasarkan waktu, tenaga dan pikiran yang telah dikontribusikan untuk intitusi pelayanan kesehatan.

Tujuan utama dalam sistem penilaian yaitu seluruh SDM yang berkerja mendapatkan remunerasi berdasarkan prinsip pertama dalam remunerasi yaitu universality. Walaupun akan ada perbedaan berdasarkan bobot kerja, jabatan maupun status. Remunerasi terdiri Gaji (berkaitan dengan kebijakan dan bersifat statis), Tunjangan (berkaitan dengan lokasi tempat pelayanan dan jabatan, dan bersifat semi dinamis), Insentif (bergantung pada performace berdasarkan outcome/untuk mendorong kerja dan bersifat dinamis). Bagaimana membagi dari intasi ke individu.

Prinsip kedua dalam pemberian remunerasi adalah discrimination karena pemberian remunerasi berdasarkan kinerja masing – masing SDM kesehatan. Penilaian terhadap kinerja berdasarkan tools. Indikator penilaian masing – masing SDM harus berdasarkan masa kerja, kehadiran dan tingkat pendidikan sudah masuk kedalam pembayaran gaji. Indikator penilaian untuk kinerja harus berdasarkan outcome based yaitu kompetensi, jenis profesi beban kerja (kuratif, rehabilitative, promotif dan preventif) dan outcome pelayanan (tingkat kesembuhan, tingkat kepuasan efisiensi dan lain sebagainya).

Kinerja institusi pelayanan kesehatan harusnya berkaitan dengan kinerja SDM kesehatan yang ada dalam organisasi tersebut. Tahapan dalam penilaian kinerja pada puskesmas terdiri dari tahapan deskriptif, analisis, implementasi dan evaluasi. Tahapan deskriptif terdiri dari penyiapan SDM kesehatan, sistem kompensasi yang akan diberikan dan dasar regulasinya. Tahapan analisis terdiri pembuatan draft, simulasi dan try out sehingga dapat dilanjutkan kepada tahap implentasi dan berakhir pada tahap evaluasi untuk melihat sejauh mana daya ungkit insentif terhadap kinerja. Adanya sistem pembayaran berdasarkan kapitasi berbasis komitmen maka kita perlu melakukan sistem insentif berdasarkan kinerja berdasarkan kontrak insitusi pelayanan kesehatan dengan BPJS.

Pembahas : dr Emillya Rossa

Penilaian terhadap kinerja SDM kesehatan sudah ada Kepmenkes nomor 857 tahun 2009 tentang pedoman penilaian kinerja SDM kesehatan. Penilaian kinerja bertujuan untuk memberikan insentif sehingga dapat mempengaruhi kinerja SDM kesehatan di puskesmas dan lebih lanjut penilaian kinerja SDM kesehatan juga memberikan kesempatan untuk peningkatan karir. Sehingga insentif yang diberikan harus secara transparansi. Permenkes No 857 tahun 2009 menyebutkan variabel penilaian yang terdiri dari variabel kelompok SDM, pendidikan, masa kerja, kehadiran, variabel pengurangan, variabel penambah dan variabel produktivitas (adanya rangkap jabatan).

Langkah pelaksanaan penilaian kerja terdiri dari mewujudkan kepemimpinan organisasi, membentuk tim penilai kinerja, membangun komitmen, Pelaksanaan penilaian kinerja, Klarifikasi dan Evaluasi. Pemberian insentif tidak hanya bergantung pada perhargaan finansial namun ada juga perhargaan non finansial berupa kesempatan untuk melanjutkan sekolah dan mengikuti workshop. Perhargaan finansial akan berbeda antara setiap SDM kesehatan berdasarkan penilain produktifitas menurut instrument yang telah ada.

Pembahas Dr Ganda

Perlu adanya perhatian terhadap penilaian yang berbeda antara rumah sakit yang lebih arah Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) Sementara puskesmas harus melakukan UKP dan Upaya kesehatan masyarakat (UKM). Sampai saat ini belum dapat memformularium untuk performance kegiatan UKM. Sehingga tenaga kesehatan UKM dapat diperhitungkan sesuai dengan SK Menkes 857.

Puskesmas yang sudah BLUD yang mengacu pada Permendagri  nomor 61 tahun 2007 dapat menerapkan sistem  remunerasi. Namun tidak semua puskesmas mampu menjadi BLUD. Tantangan setiap daerah untuk menjadikan Puskesmas BLUD berbeda – beda. Komitmen dari pemerintah daerah untuk menyiapkan puskesmas sendiri dan harus mampu mengelola administrasi dengan baik dan fleksibilitas keuangan yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada.

Kamu juga mengusulkan untuk dilakukan penelitian sejauh mana pengaruh insentif terhadap peningkatan kinerja. Contohnya rumah sakit yang sudah BLUD dan menerapkan system remunerasi, belum mampu menjawab hubungan insentif dengan peningkatan kerja. Faktor lain yang juga berpengaruh dalam peningkatan kinerja yaitu pengawasan dan pembinaan dari atasan seperti dinas desehatan kabupaten/kota. Jadi dapat dikatakan bahwa puskesmas memiliki tanggung jawab yang sangat besar namun  secara organisasi sangat terbatas dibandingkan rumah sakit.

Sesi diskusi  pertanyaan :

  1. Dr andre: Bu emil, saya sudah melihat ada tempat dan regulasinya, persoalannya yang diberikan bahwa insentif yang diberikan belum link dengan kinerja/perfomance. Karena dalam penilaian kinerjanya yang dilakukan, belum berhasil menyampaikan order atau pesan yang berkaitan dengan kinerja. Dan apakah variabel kinerja dapat diturunkan ke UKM puskesmas sehingga menjadi operasional? Bagaimanakah kita menilai kinerja SDM kesehatan?

    Tanggapan

    dr Emillya: kami sepakat untuk yang UKM juga mendapatkan penilaian kinerja. Mungkin variabel yang dapat dinilai nantinya berkaitan dengan uraian jabatan. Selama ini insentif diberikan harus sama, tidak berdasarkan kinerja. Dengan adanya kajian ataupun penelitian ini kami berharapkan dapat mengukur kinerja dengan variabel dan score yang dibuat. Dan kami berharap, kita memiliki visi dan komitmen yang sama. Sehingga perlu diperhatikan kinerja individual yang berpengaruh terhadap kinerja institusional.

    Tanggapan dr Ganda: mengetahui banyak tantangan untuk penilaian kinerja. Kami perlu mendapatkan bantuan/kontribusi oleh organisasi profesi dalam penentuan penilaian kinerja dan indikatornya. Sehingga insentif yang diberikan dapat layak untuk diterima. Regulasi pusat ada, namun bagaimana daerah menerjemahkan peraturan tersebut berbeda-beda. Daerah menerjemahkan desentralisasi seolah –olah menganggap bahwa kabupaten, provinsi dan pusat itu terpisah. Sehingga aturan yang ditetapkan pusat tidak dapat diterapkan di daerah.

    Kesimpulan : bagaimana merupiahkan setiap indikator kinerja? Dan bagaimana menghubungkan kinerja individu dengan kinerja institusinya?

    Dr andre. Memang issue besarnya yaitu komitmen dan kesepakatan. Karena matriksnya sangat kompleks. Tentu dari metriks yang kompleks harus diturunkan untuk menilai.  Kalau diadakan setahun sekali maka akan mendapatkan banyak error dan kalau kelamaan maka para penilai akan menilai yang paparan terakhir. Kalau terlalu rinci/rapat dalam penilaian memakan banyak waktu. Kita perlu mengoperasionalkan permenkes 857 karena kurang dipromosikan sehingga dapat diadopsikan. Banyak daerah yang bersudia melakukan penilaian kinerja namun belum memiliki regulasinya sehingga Kita perlu membuat buku kecil untuk menerjemahkan peraturan – peraturan tersebut. Karena di puskesmas mendapatkan group diseases sedangkan dirumah sakit mendapatkan individual diseases.

  2. Rio: Berkomentar. Berbicara tentang puskesmas adalah berbicara mengenai UKM, karena dalam era JKN dimana demand untuk pelayanan kesehatan semakin meningkat maka perlu ada upaya promotif dan preventif. Namun terkait dengan UKM, banyak faktor yang mempengaruhi seperti daerah ada yang memerlukan UKM sedikit tetapi ada pula daerah yang memerlukan lebih banyak. Bagaimana membuat sistem yang dapat mengakomodir berbagai macam seting puskesmas dalam menjalankan UKM? Mungkin kedepan perlu adanya penilaian kinerja berkaitan dengan beban kerja nyata dari masing-masing profesi itu sendiri.

    Tanggapan dr andre:. Kita masih ingat dr Regen, kalau mau kunjungan ke penduduk harus berjalan 3 hari dan harus menyiapkan logistic dan orang. Hal seperti ini tentunya akan membuat variasi baru. Kita harus mempertimbangkan burden of diseases, sebaran masyarakatnya.     

  3. Ari kurniati : adakah contoh nyata insentif UKM puskesmas?

    Pak andre : bentuk insentifnya dalam bentuk tunjungan kinerja. Dan yang kita bahas bagaimana variabel-variabel ini berkaitan dengan outcome. Misalnya di Jakarta dengan sumber dana yang begitu besar sehingga dinas kesehatan mendukung untuk malakukan pelayanan kesehatan. Apakah daerah lain cukup mampu, sehingga kita dapat melihat indikator kinerja lebih rinci.  Kita perlu mengundang dinas – dinas yang pernah menjalankan UKM dan membandingkan dengan regulasi –regulasi yang sudah ada dan juga kriteria yang telah ada sehingga kita dapat membuat variasi yang lebih generik untuk diterapkan di lapangan.

    Pak ganda : belum ada pengalaman tentang daerah yang telah melaksanakan penilaian kinerja terhadap UKM. Cuman ada sistem gaji dan tunjungan dan tidak adanya insentif. Saat ini telah dikembgkan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga. Puskesmas diharapkan untuk dapat mengunjugi setiap keluarga yang berada dalam area kerja puskesmas dengan bekal pertanyaan 12 prioritas. Puskesmas akan mendapatkan indeks keluarga sehat yang akan dibagi menjadi tiga yaitu keluarga kurang sehat, pra sehat dan keluarga sehat Kita sebenarnya sudah mempunyai bahan, tinggal kita memformularium untuk perhitungan UKM.

Kesimpulan :

  1. Peraturan pemerintah pusat mengenai penilaian kinerja SDM Puskesmas sudah ditetapkan oleh Kepmenkes 857 Tahun 2009. Namun demikian masih belum dilaksanakan oleh sebagian besar Puskesmas di wilayah Indonesia, terutama karena: kurang tersosialisasi-nya peraturan tersebut
  2. Adanya peraturan lain mengenai pembagian jasa pelayanan dapat menjadi salah satu penyebab belum digunakannya Kepmenkes 857 Tahun 2009.
  3. Dalam era JKN ini, Kepmenkes 857 tahun 2009 perlu diperkuat dengan memasukkan variabel-variabel yang terkait dengan program UKM dan yang terkait dengan capaian indikator

Penutup

Karena adanya perubahan dalam sistem pembayaran yang berpengaruh terhadap sistem pelayanan kesehatan. kami melakukan akan melakukan serial diskusi lanjutan dan kami akan mengundang narasumber dari Jakarta maupun bandung telah melaksanakan UKM yang baik, dan kita dapat mengetahui sistem penilaian kinerjanya dan bagaimana reward yang diberikan kepada mereka.

 

Continue Reading 1 Comment

  • 1
  • ...
  • 238
  • 239
  • 240
  • 241
  • ...
  • 270

Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar