KERANGKA ACUAN
SEMINAR NASIONAL PERAN DINAS KESEHATAN DALAM SISTEM KESEHATAN YANG TERFRAGMENTASI DI ERA JKN
Yogyakarta, Rabu 12 Maret 2018
PENDAHULUAN
Mulai tahun ini, setiap modul dalam Mata Kuliah Manajemen Stratejik dan Kesinambungan Finansial pada Program Studi Pasca Sarjana Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, akan diakhiri dengan suatu Seminar Nasional yang sesuai dengan substansi modul terkait. Topik seminar tersebut akan dikaitkan dengan isu mutakhir yang bersifat stratejik yang dihadapi Dinas Kesehatan baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Topik seminar nasional tersebut adalah “Peran Dinas Kesehatan dalam Sistem Kesehatan yang Terfragmentasi di Era JKN”
LATAR BELAKANG
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 9, Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Dalam konteks demikian, Kesehatan ditetapkan sebagai salah satu urusan wajib yang merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pemerintahan konkuren (Pasal 11 dan 12). Artinya, ada pembagian kewenangan dalam urusan kesehatan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara rinci pembagian kewenangannya diatur dalam Lampiran UU tersebut.
Dalam penyelenggaraan urusan konkuren, sesuai Pasal 18 No. 23 tahun 2014, Pemerintah Pusat berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dalam konteks demikian, penyelenggaraan urusan kesehatan harus mengacu kepada NSPK yang ditetapkan Kementerian Kesehatan, termasuk penyelenggaraan sistem kesehatan di daerah.
Di lain pihak, sejak 1 Januari 2014 berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang No. 24 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai. Dalam konteks UU No. 23 Tahun 2014, penyelenggaraan JKN tidak jelas dikategorikan ke dalam urusan pemerintahan yang mana, tetapi cenderung menjadi urusan pemerintahan absolut. Artinya menjadi kewenangan penuh dari Pemerintah Pusat sehingga bersifat sentralistik. Hal ini menimbulkan permasalahan besar dalam penyelenggaraan sistem kesehatan di daerah karena ada regulasi yang tidak sejalan.
JKN telah mendorong peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan di tingkat pusat dan berpengaruh pada peningkatan alokasi dana di daerah. UU No. 36 tentang Kesehatan tahun 2009 yang mengamanatkan alokasi dana kesehatan sebesar 5% dari APBN di Pemerintah Pusat telah terjadi pada tahun 2016 dan tahun 2017. Salah satu alokasi terbesar adalah untuk membiayai Penerima Bantuan Iuran (PBI) peserta JKN demi amanat UU 1945 tentang keadilan sosial. Tidak hanya itu alokasi dari Kemenkes juga diberikan kepada daerah untuk membiayai program – program fisik dan non fisik melalui dana alokasi khusus (DAK).
Sebagai hasil peningkatan pembiayaan kesehatan, pemerintah Kabupaten/ Kota dan masyarakatnya menerima sumber dana kesehatan dari berbagai sumber yaitu dari:
- Kemenkeu (APBN) yaitu dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH),
- Kementerian Kesehatan yaitu dana alokasi khusus (DAK Fisik dan DAK Non Fisik),
- BPJS Kesehatan berupa dana penggantian klaim, dana kapitasi , dan dana non kapitasi, serta dana masyarakat.
Semua dana ini disalurkan kepada daerah dengan tujuan yang sama yaitu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Di samping itu, pemerintah Kabupaten/ Kota dan Provinsi menerima dana untuk kesehatan dari Penerimaan Asli Daerah (PAD).
Fragmentasi Sistem Kesehatan
Ada hal menarik tentang sistem kesehatan. Akibat banyaknya sumber dana, terjadi fragmentasi sistem kesehatan di daerah. Beberapa hal yang menjadi penyebab fragmentasi, diantaranya:
- Adanya dua jalur besar dalam sistem pendanaan kesehatan yang tidak dikelola secara bersama. Jalur pertama menggunakan UU Kesehatan, UU Pemerintah Daerah, dan UU Rumah Sakit; sedangkan jalur kedua menggunakan UU SJSN dan UU BPJS.
- Data keuangan kegiatan pelayanan kesehatan yang dipergunakan oleh BPJS Kesehatan tidak dapat dianalisis di daerah; di level provinsi, kabupaten/ kota, dan kecamatan. Sifat manajemen data adalah sentralistik.
- Adanya sistem perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban pembiayaan kesehatan di daerah yang desentralistik.
- Tidak berjalannya perencanaan, monitoring dan evaluasi secara bersama antara aparat kesehatan dengan BPJS. Pembagian peran pun tidak jelas
Sebagai catatan: Perencanaan dan penganggaran di daerah melalui mekanisme APBD yang diawali dengan tahap analisis masalah, program, sasaran, target, dan kerangka pendanaan. Tanpa ada data BPJS dalam proses perencanaan di daerah maka terjadi potensi in-efektivitas dan in-efisiensi perencanaan kesehatan. Walaupun secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar, prinsip Good Governance tidak dijalankan dengan baik dalam kebijakan JKN. Dalam hal ini tidak ada tranparansi dan akuntabilitas berbagai keputusan dalam JKN yang sebenarnya dapat diperoleh dari data BPJSK. Akibatnya partisipasi berbagai stakeholder menjadi berkurang yang pada akhirnya akan berimplikasi pada fragmentasi sistem kesehatan yang dapat merugikan masyarakat.
Bagaimana prospek keterbukaan data BPJS di tahun 2018? Apakah Inpres no 8/2017 akan membantu?
Sistem yang dianut oleh BPJS dalam penggunaan data sampai tahun ke empat pelaksanaan masih belum sesuai dengan UU tentang informasi publik. UU No 14/ 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan menjadi sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya yang berakibat pada kepentingan publik.
- setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik (Pasal 2)
- menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik (Pasal 3)
Sistem data BPJS yang sentralistik mengakibatkan data tidak dapat diakses masyarakat bahkan pemerintah di daerah. Hal ini perlu diperbaiki.
Presiden menyadari adanya masalah dalam JKN sehingga menerbitkan sebuah instruksi. Melalui Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN; Presiden telah menginstruksikan beberapa Kementerian, Jaksa Agung, Direksi BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas pelayanan bagi peserta JKN. Instruksi ini berlaku sampai dengan akhir Desember 2018. Salahsatunya adalah mengenai penggunaan data BPJS dan peran pemerintah daerah dalam JKN. Adanya Inpres ini menjadi salah satu harapan akan terjadinya penggunaan data BPJS di daerah untuk penguatan perencanaan kesehatan.
Berdasarkan Latar Belakang demikian, tantangan utama yang dihadapi daerah khususnya dinas kesehatan baik provinsi maupun kabupaten/kota, adalah bagaimana berperan atau menentukan perannya dalam sistem kesehatan yang terfragmentasi seperti saat ini. Dalam penyelenggaraan sistem kesehatan di daerah, dinas kesehatan dituntut untuk berperan sebagai pengawas (regulator) agar sistem kesehatan bisa berfungsi dengan baik. Jika ada pihak yang tidak bisa diatur dan diawasi (dalam hal ini BPJS), maka penyelenggaraan system kesehatan akan sangat terganggu bahkan bisa kacau. Dalam hal ini, dinas kesehatan perlu segera menentukan sikap tegas untuk menyelamatkan sekaligus memperkuat sistem kesehatan di daerah.
TUJUAN
- Membahas peran, fungsi, dan antisipasi Adinkes dan Kepala Dinas Kesehatan dalam menyikapi sistem kesehatan yang terfragmentasi dalam era JKN.
- Mencari solusi agar peran dan fungsi dinas kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan di daerah dapat berjalan optimal.
NARA SUMBER
- Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
- Ketua Adinkes
- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau
- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
PESERTA
- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi beserta pejabat eselon III dan IV
- Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota beserta pejabat eselon III dan IV
- Kementerian Kesehatan RI
- Kementerian Dalam Negeri
- BPJS
- Dosen Perguruan Tinggi
- IKKESINDO
- CoP
- Peneliti dan Konsultan
- Donor Agency: USAID; UNICEF; UNFPA; WHO; World Bank; DFAT.
- Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM.
- Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) FH UGM.
WAKTU DAN TEMPAT
- Waktu: Rabu 12 Maret 2018, jam 10.00 – 12.00
- Tempat: R. Theater Perpustakaan FKKMK UGM
METODE
AGENDA
Waktu |
Materi |
Nara Sumber |
Moderator |
09.30 – 10.00 |
Registrasi |
|
Panitia |
10.00 – 10.15 |
Pembukaan |
Ketua Board PKMK |
MC |
10.15 – 11.45 |
Peran Dinas Kesehatan dalam Sistem Kesehatan yang Terfragmentasi di Era JKN
Materi
|
Pemateri:
- Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
Pembahas:
- Ketua Adinkes
- Ka. Dinkes Prov. Riau
- Ka. Dinkes Prov. Jawa Tengah
|
Dwi Handono S. |
11.45 – 12.00 |
Kesimpulan dan Rencana Tindak Lanjut
Penutupan
|
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD |
Dwi Handono S. |
PENDAFTARAN
Kontribusi peserta:
- Untuk Webinar dan Seminar di FKKMK UGM:
- Peserta perorangan dikenakan biaya Rp. 100.000 per orang;
- Peserta kelompok (webinar): Rp. 300.000/kelompok.
INFORMASI PENDAFTARAN
Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan , UGM
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 08111019077 (HP/WA)
Email: lelyana.pkmk@gmail.com
Website: http://manajemen-pelayanankesehatan.net/