• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
25 Apr2019

Kebijakan Kesehatan Berbasis Bukti Terhadap Peningkatan Kesehatan Mental Remaja

25/04/2019. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Kebijakan peningkatan kualitas layanan kesehatan mental masyarakat untuk pemuda menjadi aspek penting dari proses peningkatan kualitas. Dengan demikian, memeriksa kepatuhan terhadap kebijakan merupakan area yang tepat untuk penelitian empiris. Menurut penelitian Bruns et al (2016) terdapat kebutuhan kritis dan dorongan yang kuat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan mental yang diberikan kepada pemuda dalam pengaturan kesehatan mental yang didanai publik. Akibatnya, segudang strategi peningkatan kualitas sedang digunakan untuk meningkatkan penggunaan-bukti berbasis dence praktek. Meskipun efek mereka berpotensi berjangkauan luas, kualitas strategi perbaikan yang mempromosikan EBP di tingkat sistem kesehatan mental, seperti kebijakan, kurang sering diperiksa secara empiris daripada mereka pada tingkat organisasi individu misalnya budaya organisasi dan iklim.

Penelitian Ringle et al (2019) ini menguji tingkat, pola, dan prediktor sesuai dengan pedomanmanajemen pemanfaatan yang dikembangkan oleh negara bagian Texas untuk mendukung kebijakan kesehatan masyarakat berdasarkan bukti empirislayanan kesehatan mental yang efektif (yaitu, kebijakan berbasis bukti). Kepatuhan didefinisikan sebagai otorisasi paket layanankebijakan yang direkomendasikan, sedangkan kebijakan “wahana berlebihan” terjadi ketika paket layanan direkomendasikan tidak berwenang. Sampel penelitianterdiri dari 688 pemuda dari etnis dan ekonomi yang beragam latar belakang. Klinik melaporkan bahwa 46% dari pemuda tidak berwenang paket layanankebijakan yang direkomendasikan. Menggantikan yang terutama didasarkan pada tingkat intensitas. Hal yang paling sering, layanan berwenang kurang intensif dari yangdirekomendasikan oleh pedoman negara. Lebih tinggi tingkat keparahan pada asupan di beberapa indikator dikaitkan dengan otorisasi layanan kurangintensif dari pedoman kebijakan apa yang direkomendasikan. Penelitian selanjutnya mengevaluasi upaya sistem tingkat, seperti kebijakan kesehatan mentalnegara, harus memperhatikan dekat dengan tingkat intensitas layanan, dan hubungannya dengan kebutuhan kaum muda dalam pengaturan masyarakat.

Selengkapnya

Continue Reading No Comments

09 Jul2018

Peraturan LKPP Untuk Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

09/07/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Peraturan LKPP Untuk Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

lkpp ilustrasi

Bapak/Ibu Yth,

Minggu lalu telah disampaikan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang baru. Salah satu yang baru dalam kebijakan tersebut adalah bahwa hal-hal yang bersifat prosedural, pelaksanaan tugas dan fungsi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala LKPP dan peraturan kementerian sektoral lainnya. Dalam konteks tersebut, tepat pada 2 Juli 2018, LKPP akhirnya meluncurkan 13 (Tiga Belas) Peraturan Lembaga yang merupakan Peraturan Turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Hal yang menarik adalah Perlem LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Dalam Penanganan Keadaan Darurat. Dengan peraturan tersebut, diharapkan tidak terjadi lagi multi tafsir yang bisa menimbulkan masalah hukum seperti yang sering terjadi selama ini.

Kebijakan lain yang menarik adalah Perlem LKPP Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pedoman Swakelola. Dalam kebijakan baru tersebut, terbuka peluang bagi organoisasi masyarakat (ormas) sebagai pelaksana dan pengawas kegiatan swakelola.

Silakan mengunduh 13 Perlem tersebut melalui tautan berikut ini:

  1. Perlem LKPP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pedoman Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
  2. Perlem LKPP Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pedoman Swakelola
  3. Perlem LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia
  4. Perlem LKPP Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tender/Seleksi Internasional
  5. Perlem LKPP Nomor 11 Tahun 2018 tentang Katalog Elektronik
  6. Perlem LKPP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa yang Dikecualikan Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 
  7. Perlem LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Dalam Penanganan Keadaan Darurat 
  8. Perlem LKPP Nomor 14 Tahun 2018 tentang Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa 
  9. Perlem LKPP Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pelaku Pengadaan Barang/Jasa 
  10. Perlem LKPP Nomor 16 Tahun 2018 tentang Agen Pengadaan 
  11. Perlem LKPP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Sanksi Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 
  12. Perlem LKPP Nomor 18 Tahun 2018 tentang Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 
  13. Perlem LKPP Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pengembangan Sistem dan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa

Continue Reading No Comments

04 May2018

Faktor Penyebab Stunting di Indonesia

04/05/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Dalam rapat kerja kesehatan nasional (Rakekernas) oleh Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2018 ini, tema yang diangkat salah satunya adalah masalah stunting. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015-2016, prevalensi balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO yaitu sebesar 20%. Masalah stunting atau kegagalan tumbuh dan berkembang secara optimal di awal kehidupan berpengaruh pada banyak aspek, pertama, peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas.   Kedua, berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif. Ketiga, berpengaruh pada peningkatan risiko obesitas serta komplikasi metabolik lainnya di kemudian hari. Masalah stunting juga mengarah pada rendahnya produktivitas ekonomi, dan terkendala fungsi sosial sehingga menjadi penghambat langsung menuju pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Dalam Rakekernas 2018, disebutkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan stunting, diantaranya dari faktor ibu yang kurang nutrisi di masa remajanya, masa kehamilan, pada masa menyusui, dan infeksi pada ibu. Faktor lainnya berupa kualitas pangan, yakni rendahnya asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani, dan faktor lain seperti ekonomi, pendidikan, infrastruktur, budaya, dan lingkungan.

Penelitian dari Torlesse et al., 2016, menyebutkan bahwa kombinasi sanitasidan pengolahan air minum yang tidak baik merupakan prediktor stuntingpada populasi anak usia 0-23 bulan di Indonesia. Kebijakan dan program untuk mengatasi stunting anak di Indonesia harus mempertimbangkan intervensi air, sanitasi dan kebersihan. Penelitian operasional diperlukan untuk menentukan cara terbaik untuk menyatukan dan mengintegrasikan intervensi air, sanitasi dan kebersihan ke dalam pendekatan multisektoral yang lebih luas untuk mengurangi stunting di Indonesia. Simak artikel selengkapnya

Continue Reading No Comments

19 Feb2018

Menilai Dimensi Akseptabilitas Intervensi Kesehatan

19/02/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

acceptability

Akseptabilitas merupakan kemampuan untuk menerima atau merespon intervensi atau perlakuan tertentu. Kemampuan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dimiliki baik secara faktual maupun potensial yang mampu menggerakkan individu untuk menerima suatu tindakan atau perlakuan. Lebih lanjut akseptabilitas sangat dipengaruhi oleh persepektif terhadap konteks, konten dan kualitas yang ada. Dalam bidang kesehatan, akseptabilitas erat kaitannya dengan bagaiamana provider, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan memiliki sikap menghormati hak-hak pasien dan budaya yang berlaku dalam tatanan masyarakat dan sosial. Selain dari sisi provider, perspektif akseptabilitas juga perlu diperhatikan bagaimana respon pasien terhadap layanan yang diterima.

Perspektif pasien dan provider tentang akseptabilitas sama-sama bermanfaat bagi proses penyembuhan pasien (tujuan dari pengobatan). Dengan memperhatikan perspektif pasien tentang akseptabilitas dapat membantu provider untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Sedangkan perspektif provider tentang akseptabilitas dapat mendorong provider mengetahui level penerimaan terapi atau pengobatan yang diberikan sehingga dapat berdampak signifikan terhadap kesembuhan pasien. Untuk dapat mengetahui sejauhmana daya atau tingkat akseptabilitas pasien atau kelompok intervensi tertentu, maka provider kesehatan perlu melakukan kajian terhadap kondisi akseptabilitas. Dalam kondisi ini, untuk mendapatkan data dan informasi pengukuran yang akurat sangatlah tidak mudah karena dimensi akseptabilitas sendiri cukup kompleks. Akseptabilitas dapat dilihat dari dua dimensi yakni dimensi akseptabilitas treatment atau intervensi pengobatan dan dimensi akseptabilitas sosial yang merupakan akumulasi lingkungan di luar provider yang mempegaruhi keberhasilan sebuah intervensi pengobatan.

Untuk mendapatkan gambaran yang valid sejauhmana akseptabilitas terhadap intervensi yang diberikan, maka diperlukan pendekatan deduktif dan induktif untuk memahami akseptabilitas secara lebih komprehensif. Pendekatan tersebut merekomendasikan prospective akseptabilitas, Concurrent akseptabilitas dan retrospective akseptabilitas adalah dimensi kunci yang harus diperhatikan untuk mengetahui level atau tingkat akseptabilitas intervensi kepada pasien. Implikasi penerapan pendekatan tersebut adalah dimensi akseptabilitas diakomodir dalam semua tahapan intervensi kesehatan mulai dari desain, implementasi hingga proses evaluasi. Simak artikel selengkapnya di sini.

Continue Reading No Comments

14 Feb2018

Review Jurnal: “A Movement for Improvement”

14/02/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Time-to-Improve

Secara sederhana, mutu pelayanan dapat diartikan perbedaan antara pelayanan yang diterima secara nyata dengan harapan klien atau konsumen. Dalam pelayanan kesehatan, terdapat jenis-jenis pelayanan yang sama yang disediakan oleh berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi kualitas pelayanannya belum tentu merata satu dengan yang lainnya. Dalam sistem kesehatan pasien adalah pelanggan sehingga menjadi bagian yang sangat penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Dari sudut padang provider pelayanan kesehatan, pasien dapat diasumsikan sebagai konsumen yang memiliki ekspektasi akan pemenuhan kebutuhan akan kesembuhan ketika jatuh sakit. Menjamin kepuasan pasien adalah prioritas utama yang ditetapkan oleh berbagai provider kesehatan. Seiring berjalannya waktu, kepuasan pasien terkadang terbentur pada implementasi perbaikan mutu pelayanan yang seyogyanya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap internalisasi peningkatan mutu dalam provider layanan kesehatan.

Penyebab mutu pelayanan yang rendah diantaranya faktor proses implementasi strategi peningkatan kualitas layanan. Adopsi strategi perbaikan mutu merupakan salah satu alasan terhambatnya peningkatan mutu pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan. Penerapan perbaikan mutu yang bersifat Top-Down sulit dilakukan karena tidak didukung oleh pendekatan bottom-up yang komprehensif. Keseimbangan antara top-down dan bottom up menjadi tidak sinkron saat provider hanya mampu menerapkan adopsi strategi perbaikan mutu secara marjinal. Perbaikan yang bersifat marjinal adalah suatu kondisi yang terjadi ketika provider tidak mampu menerapkan perbaikan mutu secara holistik yang mencakup aspek input seperti sumber daya dan infrastruktur; proses berupa desain layanan, kolaborasi perencanaan dan pengambilan kebijakan bersama dan adopsi perbaikan mutu serta; output layanan yang tersedia.

Untuk perbaikan yang lebih komprehensif maka diperlukan strategi kolaboratif antara manajemen organisasi atau provider dan tenaga kesehatan. Strategi kolaboratif tersebut mengakomodir gerakan yang bersifat bottom up dan top down. Untuk mewujudkan strategi kolaboratif dapat dilakukan dengan mengadopsi model social movement yang sering digunakan dalam bidang pengembangan sosial. Model tersebut memberikan ruang bagi keterlibatan semua aktor pada berbagai level guna mewujudkan tujuan dan perubahan yang diharapkan. Dengan menerapkan model tersebut, manajer dapat secara implementatif melibatkan peran serta tenaga kesehatan untuk mencegah hambatan internal serta menjamin partisipasi yang lebih besar dalam sebuah pergerakan menuju perbaikan kualitas layanan. Model ini memiliki beberapa tahapan penting yaitu : 1) Kerangka aksi kolektif, dimana seorang manajer harus bisa menampung aspirasi setiap tenaga kesehatan untuk mengetahui kebutuhan dan kemauan untuk berubah; 2) mobilisasi, manajer diharapkan memfasilitasi, mengarahkan dan melibatkan tenaga kesehatan dalam proses perumusan kebijakan perbaikan mutu serta; 3) sustaining dan mainstreaming, pada tahapan ini perlu dilakukan penguatan terhadap regulasi yang sudah ada untuk menjamin keberlanjutan peningkatan kualitas. Simak artikel selengkapnya

Continue Reading No Comments

  • 1
  • ...
  • 18
  • 19
  • 20
  • 21
Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar