• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
29 Nov2017

Community Engagement Dalam Konteks Masyarakat Saat Ini

29/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

community-engagement-activities

Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat yang dilakukan dengan pendekatan pormotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pengoptimalan pendekatan preventif promotif dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat menjadi ciri reorientasi pelayanan kesehatan saat ini. Pendekatan pereventif promotif mengedepankan gerakan masyarakat yang bersifat partisipatif untuk mencegah penyakit, memelihara kesehatan dan memperpanjang harapan hidup dengan berperilaku hidup bersih serta mampu melakukan diagnosis dini (early diagnosis). Sekilas terlihat sangat sederhana menerapkan pendekatan preventif dan promotif. Namun, beberapa fakta menunjukkan bahwa pendekatan preventif promotif adalah pendekatan yang membutuhkan strategi yang “luar biasa”. Strategi “luar biasa” dibutuhkan dalam rangka bagaimana melibatkan individu dan masyarakat untuk menjadi agent bagi dirinya sendiri adalah community engagement (peran serta masyarakat).

Sejak mulai dikenalkan di bidang kesehatan masyarakat dalam deklarasi di Alma Ata pada 1978, konsep community engagement (CE) erat kaitannya dengan bagaimana memberdayakan masyarakat untuk dapat berperan secara mandiri, memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Konsep ini didasari oleh pertimbangan bahwa setiap orang berhak dan memiliki tugas untuk berpartisipasi dalam semua siklus layanan kesehatan. Pada kenyataannya upaya menumbuhkan peran serta masyarakat sering menghadapi masalah karena berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku masyarakat itu sendiri. Pendekatan preventif yang menjadi ciri khas CE dalam beberapa situasi menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat dari sisi efikasi dan efektivitas antara pendekatan preventif dan pendekatan kuratif. Hal ini mendorong lahirnya pemahaman baru bahwa Community Engagement adalah sebuah proses yang meliputi beberapa elemen penting seperti : stakeholder dan otoritas peran serta; sumber daya manusia lokal; evaluasi formatif; responsif dan pembagian peran serta pengawasan dengan masyarakat.

Community engagement yang efektif dapat dilihat dari sudut pandang keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program, partisipasi dalam implementasi dan keterlibatan dalam monitoring dan evaluasi. Semua unsur ini dapat terpenuhi apabila masyarakat sudah memiliki kompetensi dasar seperti kemampuan untuk mengidentifikasi dan memecahkan persoalan kesehatan secara mandiri. Untuk mencapai itu semua, maka penting untuk memperhatikan beberapa aspek seperti : elemen stakeholder dan otoritas peran serta dengan tujuan untuk memperlancar implementasi program atau kegiatan di masyarakat; perekrutan SDM lokal yang bermanfaat untuk memudahkan proses komunikasi dengan masyarakat lokal dan mendorong lahirnya rasa kepemilikan; melaksanakan evaluasi formatif yang bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini atau level literasi kesehatan dari masyarakat setempat sehingga segera dilakukan perbaikan terhadap implementasi yang ada; menumbuhkan rasa responsif melalui monitoring secara terus menerus terhadap intervensi yang dilakukan sehingga mampu mengoptimalkan implementasi program; pembagian peran dan pengawasan dengan masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat.

Implikasi dari pendekatan tersebut adalah memudahkan para pembuat kebijakan dan stakeholders mengatasi hambatan pelibatan peran serta masyarakat seperti seperti faktor kontekstual budaya, keterbatasan informasi, hambatan bahasa dan residen masyarakat di daerah pinggiran yang cenderung mengabaikan perilaku hidup bersih dan sehat. Bagaimana dan seperti apa hasil dari penerapan pendekatan community engagement di masyarakat bisa dipelajari disini [……]

Continue Reading No Comments

21 Nov2017

Bagaimana Provider Kesehatan Merespon Dampak Reformasi

21/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

health-reform

Reformasi di bidang kesehatan mengindikasikan upaya peningkatan status kesehatan yang dilakukan secara luar biasa. Lahirnya reformasi bidang kesehatan erat kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas layanan, perlindungan resiko finansial pada masyarakat miskin,  reorientasi fokus pelayanan serta restrukturisasi organisasi maupun sistem kesehatan yang telah atau sedang berjalan. Dari perspektif sistem, reformasi melahirkan perubahan baik dalam skala besar maupun kecil pada sistem yang sedang berjalan. Selain itu, reformasi juga memiliki dampak pada setiap pihak dan komponen yang terlibat dalam siklus kerja sistem tidak terkecuali manusia yang menjadi penggerak sistem itu sendiri. Salah satu  dampak yang secara langsung mempengaruhi manusia adalah perubahan lingkungan kerja yang secara langsung menyebabkan munculnya ketidakpuasan terhadap budaya atau ritme kerja yang baru pasca reformasi.

Beberapa indikasi yang menjadi tanda ketidakpuasan pekerja dapat diamati dari beberapa bentuk respon terhadap perubahan yang dikenal dengan model exit-voice-loyalty-neglect (EVLN). Exit dijelaskan sebagai bentuk ketidakpuasan ditunjukkan melalui pengunduran diri dari tempat kerja dan mencari pekerjaan baru dengan tujuan mendapatkan kepuasan kerja. Voice, merupakan ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan. Loyalty, merupakan ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan berbicara bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang benar. Neglect, merupakan ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan dan meningkatkan tingkat kesalahan. Untuk bisa menghadapi perubahan lingkungan seperti ini maka sangat diperlukan coping baik bagi pekerja maupun organisasi tempat kerja.

Secara sederhana, istilah coping merupakan proses respon perilaku seseorang untuk menyikapi perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Proses respon tersebut memiliki dua fokus utama yaitu fokus pada masalah yang dihadapi dan pada sisi emosional dari manusia atau individu itu sendiri. Sebuah studi ilmiah yang dilakukan oleh Zhang et al (2017) merekomendasikan beberapa hal penting yang dapat diaplikasikan oleh provider untuk mengatasi perubahan interaksi antara tenaga kesehatan dengan perubahan lingkungan kerja yang bisa berdampak pada kepuasan kerja yang buruk. Untuk melakukan coping yang tepat maka terlebih dahulu organisasi atau individu harus mengenali faktor kontekstual yang sedang terjadi yang disebut dengan proses coping. Setelah mengenali maka selanjutnya melaksanakan strategi coping yang seperti exit, voice, passive loyalty dan kompromi. Penelitian tersebut juga merekomendasikan pasif loyalty sebagai strategi coping yang bisa diadaptasi pada masa mendatang karena merupakan pertemuan antara ”perlawanan” terhadap perubahan dan kepatuhan terhadap dengan karakteristik pekerjaan yang baru. Selain itu, Zang et al juga menegaskan pentingnya mengakomodasi voice tenaga kesehatan oleh pihak provider sebagai bentuk coping yang berdampak positif bagi perilaku kerja tenaga kesehatan dan secara tidak langsung mereka dilatih untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Simak artikel selengkapnya di sini

Continue Reading No Comments

13 Nov2017

Mencapai Efektivitas, Efisiensi dan Keberlanjutan Program Kesehatan Melalui Pendekatan Intersectoral Convergence

13/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Intersectoral-Convergence

Kesehatan dan kehidupan yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi. Interaksi dari berbagai faktor menyebabkan hubungan saling mempengaruhi yang kompleks. Kondisi kompleksitas tersebut menunjukkan bahwa untuk mengukur sejauh mana kondisi kesehatan dan kesejahteraan hidup suatu negara tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja. Pengembangan kerja sama  lintas sektor merupakan suatu upaya meningkatkan kerjasama yang sinergis antara leading sector kesehatan dengan program non kesehatan dalam suatu kesamaan tujuan. Dengan kerja sama sinergis tersebut diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas, baik proses maupun hasil pembangunanya bagi masyarakat sebagai subyek pembangunan. Bahkan tidak sekedar menghasilkan output yang berkualitas, tetapi juga dapat menghasilakan outcome dan impact (multiplier effect).

Dalam bidang kesehatan, kerja sama lintas sektor mengindikasikan bahwa ada keterlibatan berbagai aktor atau organisasi dalam kegiatan merancang dan implementasi kebijakan kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tujuan terpenting dari kerja sama lintas sektor adalah mencapai kesadaran masyarakat yang lebih besar tentang kesehatan dan pelaksanaan kegiatan layanan publik di sektor non kesehatan  berdampak pada keadilan status kesehatan dari pengambilan keputusan dan kegiatan organisasi. Dengan demikian, apabila terjadi kerja sama maka manfaat yang didapat adalah meningkatnya ektivitas, efisiensi dan keberlanjutan dari program dan intervensi. Selain berdampak positif, kerja sama lintas sektor juga menemukan beberapa permasalahan. Permasalahan yang dihadapi dalam lintas sektor adalah ketika peran masing-masing sektor tidak jelas, mekanisme koordinasi yang kurang dipahami masing-masing kelompok yang terlibat, dan proses mandaris serta pendelegasian tugas terhambat akibat keterbatasan kapasitas sumberdaya pada level tertentu. Di sisi  lain, kerja sama lintas sektor dalam prosesnya semestinya harus menyeimbangkan antara “who” dan “how”. Setiap aktor yang terlibat harus jelas dan kompatibel dalam peran dan kontribusinya. Untuk menjamin kerja sama lintas sektor yang efektif, efisien dan berkelanjutan maka diperlukan “integrasi yang luar biasa”. Integrasi yang dimaksud adalah integrasi berkelanjutan dari berbagai dimensi dan aktivitas yang telah ada.

Kim et al (2017) memperkenalkan intersectoral convergence sebagai pendekatan terbaru untuk mewujudkan integrasi yang berkelanjutan. Intersectoral Convergence mencakup empat level kerja sama lintas sektor yaitu integrasi; kolaborasi; koordinasi dan kooperatif. Integrasi merupakan level tertinggi hubungan lintas sektor yang ditandai dengan partisipasi dalam struktur lintas sektor dan share kapasitas dan sumber daya. Kolaborasi merupakan aktivitas peran dan sumberdaya untuk mencapai tujuan bersama. Koordinasi merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersama tetapi tidak terstruktur. Kooperatif merupakan level intersectoral convergence yang paling rendah yang ditandai dengan sharing informasi dan data tetapi kegiatan masih dilakukan secara terpisah oleh masing-masing organisasi atau aktor.

Model pembangunan kesehatan di era desentralisasi saat ini, perlu memperhatikan kondisi natural dan kebutuhan lokal sekaligus mengakomodasi tujuan pembangunan kesehatan secara nasional. Pendekatan intersectoral convergence sangat membantu pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi level kerja sama lintas sektor baik  di tingkat pusat, provinsi, kabupaten kota sehingga dapat dilakukan pemetaan yang komprehensif tentang peran dan keterlibatan masing-masing aktor dan organisasi dalam pembangunan kesehatan. Selain itu pendekatan tersebut juga mengakomodir persoalan kompleksitas urusan administrasi dan operasional teknis lewat pertimbangan kongkurensi antara tingkat pusat dan daerah. Dengan demikian terjadi kejelasan antara siapa saja (who) yang terlibat dan bagaiamana (how) peran mereka dalam mendukung peningkatan status kesehatan. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi intersectoral convergence dalam pemberian layanan kesehatan esensial dapat disimak di sini

Continue Reading No Comments

07 Nov2017

Strategi Membawa Inovasi Program Public Health Ke Masyarakat

07/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

start-up-funding 

Keberhasilan pengembangan bidang public health (kesehatan masyarakat) sampai saat ini masih menjadi sorotan masyarakat dan praktisi kesehatan dunia. Selain banyak ditemukan penerapan strategi multidisipliner untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan kesehatan dari perspektif promotif dan preventif, public health saat ini menghadapi tantangan dalam mempertahankan keberhasilan program secara berkelanjutan akibat berbagai keterbatasan yang dihadapi. Paradigma keberlanjutan untuk outcome kesehatan di dalam masyarakat (kelompok sasaran) seperti perubahan perilaku, rate penyakit dan partisipatif menjadi riskan manakala para pengambil kebijakan dan praktisi public health dihadapkan pada persoalan yang mengharuskan mereka mengembangkan konsep baru pemecahan masalah, berani mengambil resiko dan mengembangkan kemitraan yang bersifat multi dimensi. Kondisi tersebut pada akhirnya mengharuskan pembuat kebijakan dan praktisi public health menyusun dan mengembangkan best practice atau model perencanaan yang kompatibel. Namun, tuntutan tersebut tidak didukung dengan kemampuan dan kreativitas yang memadai dari pembuat kebijakan dan praktisi bidang public health.

Model perencanaan yang kompatibel adalah  model yang didesain untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari sasaran atau masyarakat. Untuk menghasilkan model perencanaan yang kompatibel maka sangat diperlukan inovasi. Inovasi bukan berarti selalu baru tetapi merupakan terobosan untuk mengembangkan dan menerapkan strategi sesuai dengan kebutuhan sasaran. Inovasi menjadi solusi yang cukup efektif manakala hasil dari pelaksanaan inovasi mampu menghindarkan program dari kegagalan dan memberikan dampak positif ketika program berakhir. Alasan mendasar perlunya model perencanaan yang kompatibel dalam public health didasari oleh pertimbangan bahwa model perencanaan klasik (tradisional) memang masih dapat digunakan tetapi pembuat kebijakan dan praktisi perlu melakukan akselerasi melalui pengembangan inovasi. Selain itu, model perencanaan klasik masih belum mampu mengatasi  penghambat efektivitas program yaitu 1) proses perencanaan yang berjalan linear sehingga solusi yang diberikan dipaksakan untuk diimplementasikan pada semua keadaan dan situasi; 2) sumber pendanaan sangat terbatas dan tidak stabil karena sangat bergantung pada pemerintah; serta 3) alokasi pendanaan tidak mampu menjamin outcomes program yang dilaksanakan.

Untuk memudahkan pembuat kebijakan dan praktisi melakukan perencanaan yang inovatif (kompatibel) dalam bidang public health maka Lister et al. (2017) telah mengembangkan model inovasi dalam bidang kesehatan yang dikenal dengan Public Health Innovation Model (PHIM). Model PHIM mengkombinasikan dan mengintegrasikan desain model berpikir sektor swasta dengan model perencanaan klasik (tradisional) dan berfokus lebih dekat pada outcomes program. Inovasi yang dimaksudkan dalam model PHIM adalah inovasi yang mampu menyeimbangkan antara peran pemerintah, swasta dan masyarakat dengan membandingkan model perencanaan di sektor pemerintah dan swasta.

Dua hal yang bisa diadopsi dari perencanaan sektor swasta (bisnis) adalah pertama pembuat kebijakan harus mengembangkan solusi yang inovatif. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan pola pikir dalam pemecahan masalah yang dimulai dari konsumen dan berfokus pada sisi demand manusia, berdasarkan hasil penelitian, kolaboratif dan iterasi. Kedua, pembuat kebijakan dan praktisi harus berupaya mengakses sumber pendanaan swasta yang bisa digunakan melalui CSR untuk menjamin keberlangsungan dukungan pendanaan program.

Selain itu, model PHIM juga memberikan beberapa strategi yang harus diperhatikan oleh pembuat kebijakan dan praktisi ketika mengimplementasikan dan mengadopsi model ke dalam kegiatan atau program sehari-hari. Untuk mencapai keberhasilan inovasi maka strategi yang harus dilakukan adalah kerja sama lintas sektor, menumbuhkan community buy-in, otonomi (kemandirian) dan kreativitas. Kerja sama lintas sektor (cross-collaboration) bertujuan untuk membangun kemitraan dan sharing risk dan sumber daya sehingga dapat mengatasi keterbatasan sumber daya suatu program. Community buy-in menekankan dua prinsip yang harus diperhatikan yakni menciptakan kebutuhan masyarakat akan program atau kegiatan dan yang kedua mampu membaca level inovasi dan momentum yang tepat untuk mentransfer inovasi ke dalam sasaran program. Otonomi menekankan pada kemandirian dan kemampuan untuk melaksanakan inovasi. Kreativitas mengarah pada kemampuan untuk menciptakan ide dan inovasi melalui kegiatan yang bersifat sharing ide. Artikel selengkapnya klik di sini

 

Continue Reading No Comments

24 Oct2017

Potensi Opini Publik Dalam Mengatasi Health Inequity

24/10/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

PHCM9626

Pengentasan health inequity masih terus menjadi sorotan dan agenda masyarakat dunia khususnya negara-negara yang tergolong kategori berpendapatan rendah dan sedang berkembang.  Selain merupakan salah satu bentuk social determinant of health, alasan mendasar mengapa health inequity harus diselesaikan meliputi dua pertimbangan penting yaitu 1)setiap manusia memiliki hak asasi yang sama untuk hidup sehat; dan 2) kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan manusia sehingga mampu hidup secara layak dan berproduktif. Terjadinya health inequity erat kaitannya dengan proses pelayanan kesehatan yang tersedia bagi masyarakat. Kedudukan sektor kesehatan sebagai public goods telah mengerakkan pelayanan kesehatan pada proses transaksi pasar (market transaction). Beberapa kondisi ini apabila tidak diawasi secara baik maka dapat menjadi salah satu penyebab terganggunya proses pelayanan kesehatan dari provider (penyedia layanan) sehingga terjadi disparitas pada segmen (kelompok) masyarakat tertentu.

Sebagai “nahkoda” negara, kedudukan dan fungsi pemerintah yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk mengatasi persoalan health inequity masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Secara normatifd pemerintah harus bisa menjamin tidak terjadi inequity dalam status kesehatan. Peran sebagai regulator, beberapa langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah guna menjamin kualitas layanan dan kepuasan pasien adalah mengetahui apa yang dibutuhkan masyarkat terkait kesehatan khususnya masyarakat miskin yang selanjutnya kebutuhan tersebut ditindaklanjuti melalui pengaturan dan perumusan kebijakan pelayanan provider sebagai perpanjangan tangan pemerintah baik itu swasta atau yang dikelola secara langsung oleh pemerintah. Namun, dalam pelaksanaannya fungsi dan tanggung jawab pemerintah dihadapkan pada persoalan konsistensi dan keseriusan yang sangat mempengaruhi komitmen dan kemauan politis sehingga menjadi tantangan serius bagi efektivitas dan efisiensi pengentasan health inequity.

Kondisi tersebut melahirkan kegagalan pemerintah dalam menjadi “nahkoda” negara yang ditandai dengan dua kondisi yakni pertama pemerintah tidak bisa memenuhi atau tidak mendengarkan apa yang diminta masyarakat (voice) hal ini terjadi apabila pembuat kebijakan berada pada level administrasi yang tinggi sehingga tidak “dekat” dengan masyarakat. Kedua pembuatan kebijakan tidak mampu mengawal penyampaian aspirasi masyarakat ke provider pelayanan. Dengan adanya permasalahan tersebut maka peran tunggal yang dilakoni oleh pemerintah untuk saat ini bukan merupakan suatu jaminan untuk bisa menyelesaikan persoalan health inequity. Pemerintah perlu berpikir lebih realistis dengan melihat potensi sekitar yang bisa bersinergi.

Kirst et al (2017) menegaskan bahwa untuk mengatasi health inequity maka yang diperlukan bukanlah power tetapi lebih pada power dan sinergi pemerintah dan masyarakat. Kontribusi masyarakat terhadap pengentasan masalah inequity dapat diakomodir dengan mendengarkan opini publik terhadap upaya pengentasan inequity. Meskipun tidak secara langsung dapat meningkatkan akses, dan kualitas layanan kesehatan, opini publik merupakan bagian dari strategi menghilangkan inequity karena peran keberpihakan masyarakat sangat membantu pemerintah untuk merumuskan strategi yang bersifat komprehensif. Dengan mendengarkan dan mengakomodir opini masyarakat, pemerintah bisa merumuskan intervensi yang lebih potensial untuk mengatasi permasalahan health inequity. Opini publik yang dimaksud bukan semata-mata terbatas pada persepsi atau pendapat masyarakat tentang apa yang dibutuhkan tetapi lebih pada bagaimana pemerintah bisa merumuskan formulasi intervensi yang komprehensif. Simak artikel selengkapnya pada laman berikut.

Continue Reading No Comments

  • 1
  • ...
  • 18
  • 19
  • 20
  • 21
Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar