• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
05 Sep2017

Sustainability in Health care by Allocating Resources Effectively

05/09/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Konsep sustainability development (pembangunan berkelanjutan) menekankan bahwa pembangunan generasi sebelumnya sangat perlu mempertimbangkan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks nasional memiliki arti bahwa pembangunan bukan hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi sosial dan kesehatan saja, melainkan juga sebagai alat untuk mencapai kepuasaan intelektual, emosional, moral dan spiritual. Pembangunan kesehatan memiliki peran yang strategis bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga harus dipelihara dan dipertahankan dari generasi ke generasi dari waktu ke waktu sehingga tercipta ekuitas antar generasi dan menjadi sesuatu yang berharga bagi keberlangsungan pembangunan kesehatan suatu bangsa dari waktu ke waktu.

Dalam bidang kesehatan, fokus utama sustainability terletak pada faktor-faktor determinan (penentu) dan proses pemilihan strategi untuk terus memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dari waktu ke waktu dengan selalu mempertimbangkan aspek organisasi dan financial sustainability. Sustainability selalu berdasarkan masa kini dan selalu memiliki prospek program atau proyek untuk masa depan. Kebutuhan akan disinvestasi telah muncul sebagai respons terhadap meningkatkan biaya dan meningkatnya kesadaran akan hal yang tidak efektif dalam praktik layanan kesehatan. Meskipun tidak definisi – definisi tunggal yang jelas, pengurangan atau penghentian investasi (disinvestasi) umumnya dipahami sebagai pemindahan, pengurangan atau pembatasan teknologi kesehatan dan praktik klinik yang tidak aman atau kurang memberikan keuntungan. Disinvestasi merupakan upaya perbaikan mutu bagi pasien dan penggunaan sumber daya yang tersedia secara lebih efisien oleh organisasi.

Prinsip Sustainability in Health care by Allocating Resources Effectively (SHARE) yang telah diterapkan di Australia merupakan model alokasi sumber daya yang berfokus pada penggunaan sumber daya secara efisien. Model tersebut menggunakan pendekatan secara top down dan bottom up secara bersamaan. Dalam implementasinya, SHARE melibatkan empat tahapan atau langkah-langkah yang mencakup ; 1) mengidentifikasi kebutuhan akan perubahan; 2) mengembangkan proposal untuk memenuhi kebutuhan; 3) menerapkan proposal; 4) mengevaluasi sejauh mana dan dampak dari perubahan tersebut.

Setiap langkah didukung oleh prinsip – prinsip praktik berbasis bukti untuk memastikan bahwa bukti terbaik dari penelitian dan data lokal, pengalaman dan keahlian dari staf layanan kesehatan dan nilai dan perspektif konsumen diperhitungkan. Model tersebut memiliki beberapa sistem dan proses yang mencakup redesain sistem; pendekatan ekonomi dan penetapan prioritas; proaktif penggunaan data lokal; pengembangan dan panduan protokol; penggunaan hasil penelitian; dan pembelian.  Model ini sangat membantu bagi pengambil kebijakan untuk mengetahui sejauh mana program kesehatan dapat terus berlanjut dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kebutuhan akan perubahan. SHARE juga dapat menghindari duplikasi dan telah mempertimbangkan integrasi proses baru dalam sistem yang ada pada setiap langkah. Artikel selengkapnya

Continue Reading No Comments

21 Aug2017

Bagaimana Pengalaman Berobat Pasien JKN Setelah 72 Tahun Merdeka

21/08/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Logo-JKN-300x2951Peran Puskesmas sebagai gate keeper pelayanan sebelum rujukan sekunder dan tersier telah diperkuat dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Adanya JKN, dokter diharapkan  dapat memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat dengan mengelola sebagian besar masalah pasien di level Puskesmas. Dalam pelaksanaan JKN, sektor layanan primer didukung melalui skema pembayaran kapitasi. Model kapitasi yang populer ketika konsep Health Maintenace Organizatioan (HMO) pada awal tahun 1970-an merupakan  cara pembayaran oleh pengelola dana (BPJS Kesehatan) kepada penyelenggara pelayanan kesehatan primer (primary health provider) untuk pelayanan yang diselenggarakannya, yang besar biayanya tidak dihitung berdasarkan jenis dan ataupun jumlah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan untuk tiap pasien, melainkan berdasarkan jumlah pasien yang menjadi tanggungannya.

Sistem pembayaran kapitasi ini dimaksudkan untuk memungkinkan layanan perawatan primer difokuskan pada upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit di samping tindakan kuratif. Selain itu JKN juga memperkenalkan beberapa peraturan baru jika dibandingkan dengan skema asuransi sebelumnya. Di masa lalu, melalui skema Askes dan Jamkesmas pasien bebas mengakses layanan perawatan primer dan mudah mendapatkan surat rujukan dari dokter umum (GP) untuk mengakses layanan sekunder ke rumah sakit. Namun, di bawah skema JKN, pasien harus mendaftarkan diri secara formal dan layanan terbatas pada fasilitas yang memiliki kerja sama dengan BPJS.

Beberapa isu penting muncul pada tahun-tahun pertama implementasi JKN. Hadirnya skema JKN dan kepesertaannya jika dibandingkan dengan total keanggotaan skema asuransi sebelumnya di tahun 2012 (155 juta anggota), keanggotaan JKN baru mencapai 125 juta anggota pada pertengahan 2014. Selain itu secara nasional, tingkat rujukan dari layanan primer ke sekunder secara keseluruhan adalah 17%, tetapi rujukan di beberapa provinsi seperti di Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta jauh lebih tinggi, mencapai 55% pada kasus tertentu. Dengan tingkat rujukan yang tinggi ini mungkin banyak rujukan tidak pantas seperti hipertensi esensial, dispepsia, dan fisik secara umum pemeriksaan kondisi yang harus dikelola di tingkat perawatan primer.  

Ekawati et al (2017) secara khusus, mengidentifikasi pandangan pasien yang dapat menghambat pelaksanaan peran gate keeper Puskesmas di Indonesia. Beberapa faktor seperti penilaian pasien tentang ketersediaan dan akses perawatan medis yang dekat dengan rumah, kurangnya kepercayaan (trust) mereka terhadap dokter di Puskesmas dan kecemasan kehilangan perawatan di rumah sakit tampaknya berdampak terhadap cakupan kepersertaan JKN. Peningkatan kapasitas Puskesmas melalui akreditasi tidak mungkin menjadi jaminan tercapainya tujuan JKN apabila  pasien dipisahkan dari perbaikan sistem layanan. Pengalaman dan pandangan pasien selama pelaksanaan JKN menjadi faktor penting yang mempengaruhi keputusan pasien akan ikut serta dalam JKN. Perlunya mendapatkan informasi tentang pandangan pasien penting karena pasien adalah pihak yang menerima perawatan kesehatan, dan pengalaman mereka mewakili kondisi yang sebenarnya. Beberapa bukti menunjukkan bahwa saat ini tingkat kepuasan pasien JKN masih rendah dan keluhan dari anggota JKN yang berasal masyarakat miskin. Dengan memperhatikan faktor pengalaman dan pandangan pasien tentunya dapat menyeimbangkan perbaikan kualitas layanan baik dari sisi supply maupun demand.

Artikel selengkapnya

Continue Reading No Comments

17 Jul2017

Melihat Sisi Lain Care Pathway dari Kota dan Desa

17/07/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

Diskusi tentang perawatan masih menjadi hal menarik untuk dieksplorasi dengan  membandingkan antara penduduk di perkotaan dan pedesaan. Sejak diperkenalkan pertama kali pada 1950-an, care pathway merupakan alur perawatan yang memberikan manfaat terhadap kualitas perawatan itu sendiri. Care pathway adalah model layanan yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya  untuk mewujudkan kualitas layanan perawatan.

Namun, pelayanan perawatan yang terstandar pada kenyataannya tidaklah mutlak terjadi di setiap proses perawatan pasien setiap kasus penyakit. Suatu kajian dengan menggabungkan aspek pola demografis dan konteks pelayanan telah memberikan potret sisi lain dari hadirnya care pathway.  Model intervensi kompleks berupa pengambilan keputusan bersama dan pengorganisasian proses perawatan untuk sekelompok pasien tersebut. Ternyata hal tersebut menjadi penyebab munculnya dehumanisasi pekerjaan, hubungan dokter-pasien yang kurang baik, dan jalur perawatan yang mengurangi pilihan pasien sehingga berdampak pada keterlambatan pemilihan perawatan bagi pasien dengan kondisi penyakit tertentu.

Dalam hal pemilihan perawatan kesehatan, pola demografis dan peran berbagai jenis penyedia layanan kesehatan dalam proses diagnosis penyakit menjadi determinan utama dalam memahami perilaku tersebut.  Potret kondisi pelayanan kesehatan di pedesaan dengan berbagai keterbatasan infrastruktur dan ketersediaan pelayanan memberikan kesan model pelayanan dengan care pathway seakan menjadi “pasar” bagi para dokter untuk “mengkomersialkan” pelayanan bagi pasien. Kegagalan pemerintah mengidentifikasi peran aktor lokal dalam alur perawatan menjadi hal krusial Dalam kondisi seperti in., Sistem kesehatan seolah menjadi penyebab keterlambatan pasien untuk melakukan perawatan ketika sakit karena tidak dapat menjamin akses, akseptabilitas dan affordability. Kondisi yang sama juga terjadi pada pasien di perkotaan. Care pathway menjadi sesuatu yang tidak berguna manakala terdapat keterbatasan untuk memahami alur pelayanan.  Sulitnya pasien memahami care pathway telah mengurangi niat sekaligus memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien. Pasien cenderung terlambat menerima perawatan karena ada anggapan penyedia layanan tidak memberikan kepastian diagnosis bagi mereka.

Fakta menarik yang mengkritisi care pathway juga terjadi di Bangladesh dalam penelitian oleh Sarker et al yang dipublikasikan pada 2017. Keterlambatan pasien penderita extra pulmonary tuberculosis (EPTB) dalam mendapatkan perawatan mengindikasikan bahwa care pathway belum mampu meningkatkan akses serta kepastian dalam perawatan pasien EPTB. Kondisi ini diperburuk dengan adanya ketidakmampuan dokter untuk mendiagnosa EPTB secara benar. Pasien menilai bahwa penyedia layanan cenderung menahan pasien untuk waktu yang sangat lama meskipun kasus tidak berhasil didiagnosa akibat sifat umum EPTB yang tidak jelas.

Penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi pola alur pencarian pelayanan pada pasien di pedesaan dan perkotaan tersebut menemukan bahwa terdapat perbedaan rata-rata penundaan perawatan antara pasien EPTB di daerah pedesaan dan perkotaan. Perbedaan ini menandakan ketepatan pasien perkotaan dalam mengambil keputusan jauh lebih baik dibandingkan dengan pasien di pedesaan. Selain itu, faktor lain seperti kurang pengetahuan, rendahnya pendidikan anggota keluarga, sikap “komersial” dokter, dan ketakutan pribadi juga menjadi alasan penundaan diagnostik oleh pasien baik di pedesaan maupun perkotaan.

Kondisi ini sangat memerlukan perhatian para pengambil kebijakan dan manajemen untuk memperbaiki care pathway dengan pertimbangan akses, akseptabilitas dan keterjangkaun biaya. Jalur yang diikuti oleh pasien EPTB yang dieksplorasi dalam penelitian ini memberikan wawasan mengenai peran berbagai jenis penyedia layanan kesehatan dalam proses diagnosis, alasan di balik penundaan diagnosis, dan peran tenaga non-medis dalam proses perawatan. Penyedia layanan kesehatan informal dan swasta di daerah pedesaan menjadi bagian dari diskusi menarik dalam artikel tersebut karena pertimbangan akses, akseptabilitas dan affordability dalam care pathway. Apa, bagaiamana peran dari penyedia layanan informal dan swasta agar dapat mempersingkat jalur perawatan pasien EPTB secara signifikan sehingga meningkatkan kualitas kehidupan individu yang terkena dampak selengkapnya dapat diakses pada laman berikut Artikel

Continue Reading No Comments

13 Jun2017

Penguatan Sistem Kesehatan Melalui Pendekatan Pragmatis

13/06/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Artikel MPK

health_care_system

Sistem kesehatan adalah suatu jaringan penyedia pelayanan kesehatan (supply side) dan orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut (demand side) di setiap wilayah, serta negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut, dalam bentuk manusia maupun dalam bentuk material. Untuk mengenal alur dan berbagai pilihan kebijakan yang mempengaruhi peningkatan status kesehatan merupakan tantangan tersendiri bagi pembuat dan pelaksana kebijakan. Setelah World Health Organization (WHO) pada 2000  lalu mengembangkan konsep sistem kesehatan, negara-negara berkembang dan terbelakang mencoba memperbaiki sistem kesehatan yang ada. Pertimbangan perbaikan berfokus pada penguatan sistem kesehatan yang berlaku seperti di Mozambik, Nepal dan Rwanda.

Penguatan sistem dipilih atas pertimbangan bahwa suatu sistem dikatakan efektif apabila terdapat peningkatan terhadap akses layanan kesehatan oleh masyarakat. Selain itu, sejumlah faktor diidentifikasi sebagai driver penguatan sistem kesehatan yang meliputi; 1) tata pemerintahan yang baik telah teridentifikasi sebagai penentu utama kesuksesan dalam perancangan dan implementasi yang efektif kebijakan dan program, 2) keberhasilan dalam implementasi kebijakan kesehatan yang dilaksanakan pada level mikro atau sistem kesehatan lokal, dan 3) kepemilikan dan partisipasi masyarakat sterhadap intervensi kesehatan. (Samuels et al, 2017).

Samuels et al (2017) dalam artikel yang berjudul Drivers of health system strengthening: learning from implementation of maternal and child health programmes menerapkan pendekatan pragmatis untuk menilai faktor apa saja yang berpengaruh dalam penguatan sistem kesehatan di Mozambik, Nepal dan Rwanda. Pendekatan pragmatis dilakukan dengan pembuktian terhadap berbagai konsep yang menjelaskan tentang “driver” penguatan sistem kesehatan dengan mengkaji keberhasilan program kesehatan ibu dan anak di tiga negara. Pendekatan pragmatis digunakan bukan hanya untuk meningkatkan utilisasi layanan melainkan juga sebagai cara yang efisien untuk mengidentifikasi prioritas dan penyediaan kesehatan wilayah setempat. Penguatan sistem harus dilakukan secara berjenjang dari level makro, mikro hingga pada level pemberian pelayanan.

Pada level makro, kebijakan dan program yang ditargetkan sangat memerlukan tata kelola yang efektif untuk mempromosikan transparansi pengambilan keputusan dan perencanaan. Pada level mikro, perlu dipastikan sistem yang diterapkan mampu diadopsi dengan baik. Pada tingkat pemberian layanan, memanfaatkan sumber daya masyarakat, termasuk meluasnya penggunaan tenaga kesehatan masyarakat telah menjadi tema yang penting dalam menjelaskan keberhasilan intervensi kesehatan. Namun, hal ini tentu tidak mudah untuk dilakukan dengan pertimbangan kondisi demografis dan status kesehatan masyarakat yang ada (Samuels et al, 2017).

Langkah-langkah pendekatan pragmatis untuk mengkonseptualisasikan penguatan sistem kesehatan dapat dilakukan dengan berfokus pada memahami jalur untuk mengakses kesehatan yang lebih baik dengan mempertimbangkan konteks dan sejarah suatu wilayah. Selanjutnya perlu mengidentifikasi kumpulan beberapa driver yang memungkinkan penguatan sistem kesehatan pada semua level. Untuk mengatasi permasalahan implemetasi sistem kesehatan maka perlu ada keterlibatan petugas kesehatan masyarakat pada tingkat makro. Hal ini sangat penting untuk mendukung peningkatan kapasitas implementasi di tingkat daerah terutama bagaimana kebijakan diterjemahkan dan bagaimana program dilaksanakan di lapangan.

Artikel selengkapnya dapat diunduh di sini

Continue Reading 1 Comment

06 Jun2017

Ekspektasi Pasien Pedesaan Dalam Pengurangan Disparitas Status Kesehatan

06/06/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Arsip Pengantar, Artikel MPK

Tahun 2015, Kementerian Kesehatan RI merilis kesiapan pelayanan umum di puskesmas baru mencapai 71%, pelayanan PONED 62%, dan pelayanan penyakit tidak menular baru mencapai 79%. Kekurangsiapan tersebut terutama karena kurangnya fasilitas yang tersedia; kurang lengkapnya obat, sarana, dan alat kesehatan; kurangnya tenaga kesehatan; dan belum memadainya kualitas pelayanan. Namun, meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-pedesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah pedesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Persentase anak balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Proporsi bayi lahir pendek, terendah di Provinsi Bali (9,6%) dan tertinggi di Provinsi NTT (28,7%) atau tiga kali lipat dibandingkan yang terendah (Kemenkes, 2015).

Continue Reading 1 Comment

  • 1
  • ...
  • 18
  • 19
  • 20
  • 21
Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar