• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
29 Dec2017

Workshop Diseminasi Hasil Riset Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Pelayanan Primer Siklus 2

29/12/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Cop Primer

  • foto-tim
  • pak-Usman
  • pak-Donald
  • pak-Laode

Reportase Sesi 1

Apakah Sistem Insentif untuk Petugas Kesehatan di Pelayanan Primer telah Sesuai dengan Kinerja : Hasil Riset Implementasi JKN di 5 Kabupaten/Kota di Indonesia

Menurut definisi dari kamus besar bahasa Indonesia, insentif adalah “tambahan penghasilan (uang, barang, dan sebagainya) yang diberikan untuk meningkatkan gairah kerja atau uang perangsang. Tahun 2014, sejak adanya JKN, ada sumber pembiayaan baru di Puskesmas dari BPJS Kesehatan yang disalurkan dalam bentuk dana kapitasi, non-kapitasi serta Prolanis. Dari BPJS Kesehatan ke fasilitas, pengaliran dana kapitasi dan non-kapitasi ditentukan sesuai Permenkes 52/2016, khususnya untuk dana kapitasi berdasarkan indikator kapitasi berbasis komitmen pelayanan (KBKP) yaitu angka kontak, rasio rujukan non spesialistik dan proporsi kunjungan Prolanis. Sedangkan distribusi dana tersebut untuk jasa petugas kesehatan berdasarkan Permenkes 21/2016 (untuk dana kapitasi) dan peraturan daerah masing-masing (untuk dana non kapitasi). Adanya tambahan dana ini seharusnya dapat meningkatkan ketersediaan sumber daya di fasilitas kesehatan sehingga pelayanan keseatan pada masyarakat juga meningkat. Namun demikian, hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya dana kapitasi belum berpengaruh pada kinerja petugas kesehatan, yang antara lain disebabkan oleh belum dioptimalkannya fungsi dana kapitasi sebagai insentif. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi sumber-sumber insentif potensial untuk memotivasi petugas kesehatan mencapai target program kesehatan yang diinginkan. Untuk itu, pertama-tama kita akan melihat bagaimana struktur pendapatan dari tenaga di Puskesmas, kemudian melihat apakah pada masing-masing sumber pendapatan tersebut terdapat sistem pembagian yang berdasarkan kinerja.

Sumber-sumber pendapatan tenaga kesehatan yang bervariasi antar daerah.

grafik-batang-hitam

Seratus lima puluh tiga petugas kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, bidan dan tenaga administrasi di Puskesmas di Tapanuli Selatan, Jakarta Timur, Jember, Kota Jayapura dan Jayawijaya mengisi survey mengenai sumber-sumber pendapatan mereka dalam 1 bulan terakhir. Dari penelitian ini tampak adanya ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota, dengan potensi sumber pendanaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh di Jakarta Timur lebih dari 70% pendapatan dokter, perawat dan bidan bersumber dari Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Sementara itu untuk kota Jayapura, sebagian besar pendapatan dokter berasal dari dana kapitasi. Untuk Kabupaten Jember dan Tapanuli Selatan, pendapatan dari praktek swasta mencapai 40% dari total pendapatan per bulannya. Variasi ini dipengaruhi oleh berbagai hal. Tunjangan kinerja daerah dipengaruhi oleh kemampuan keuangan masing-masing kabupaten/kota serta skala prioritas. DKI Jakarta mampu untuk memberikan tunjangan daerah bagi dokter dengan nominal paling sedikit Rp20juta per bulan, sementara di Tapanuli Selatan jumlah maksimal yang bisa diterima oleh dokter adalah Rp2 juta per bulannya. DKI Jakarta memiliki APBD yang sangat besar sehingga dapat mengalokasikan hal tersebut sebagai tunjangan kepada petugas dengan nominal yang relatif besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal lain yang menyebabkan adanya variasi ini adalah ketersediaan dokter/dokter gigi di FKTP, jumlah seluruh tenaga di Puskesmas, dan jumlah peserta yang terdaftar dalam satu fasilitas.

Sumber pendapatan mana saja yang dianggap sebagai insentif?

word-coud

Ilustrasi di atas memperlihatkan bagaimana persepsi petugas di Puskesmas mengenai indikator kinerja yang baik (gambar kiri) serta bagaimana pemberian insentif selama ini diberikan (gambar kanan). Menurut responden, tiga hal yang menjadi indikator utama penilaian kinerja, yaitu terpenuhinya tupoksi, pelayanan kepada pasien dan pencapaian target. Sementara itu selama ini pemberian insentif tidak berdasarkan indikator kinerja yang disebutkan sebelumnya, melainkan pada kehadiran, pendidikan dan  kegiatan. Bagaimana dengan gambaran sistem insentif untuk masing-masing sumber pendapatan?

Kapitasi

Pembagian jasa pelayanan kapitasi, yang seharusnya berpotensi sebagai sumber insentif, dibagikan kepada petugas berdasarkan pada jenis ketenagaan atau jabatan dan kehadiran. Menurut permenkes 21/2016, penanggung jawab program diberikan 10 poin tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tugas tersebut, namun demikian perbedaannya dirasa tidak terlalu signifikan. Kapitasi telah dimanfaatkan sebagai ‘perangsang’ oleh beberapa Puskesmas di Tapanuli Selatan dan Kota Jayapura dengan memberikan poin lebih banyak pada petugas yang memang memiliki beban penanggung jawab program ganda. Kapitasi juga dimanfaatkan untuk memberikan uang transportasi bagi kegiatan luar gedung oleh beberapa Puskesmas, terutama apabila dana di BOK sebagai sumber utama kegiatan luar gedung sudah habis. Dilihat dari apa yang telah dilakukan di kabupaten/kota, maka kapitasi memang telah dimanfaatkan untuk memberi insentif pada penanggung jawab program, tetapi pemberiannya belum berdasarkan capaian kinerjanya.

Tunjangan daerah

Bagaimana dengan tunjangan daerah? Proporsi tertinggi untuk penilaian kinerja di keempat kabupaten/kota yang telah memberikan tunjangan kinerja daerah yaitu untuk kehadiran. Di DKI Jakarta memasukkan indikator serapan anggaran dan perilaku yang total merupakan 30% dari bobot tunjangan keseluruhan. Sementara itu, di Kota Jayapura dan Jayawijaya penerapan pembayaran berdasarkan kehadiran belum terlaksana secara optimal karena adanya pemutihan sehingga prosentase kehadiran tidak berdampak pada tunjangan daerah yang diterima.

Non-kapitasi

Dana non-kapitasi, yang seharusnya bisa memotivasi petugas untuk melaksanakan tindakan tertentu, misalnya: pemeriksaan kehamilan, persalinan normal, tindakan KB, IVA, dan pap smear. Namun hal itu tidak terjadi karena beberapa hal. Pertama, tidak banyak petugas yang menerima atau merasa menerima pendapatan dari dana non-kapitasi. Dari 22 dokter, 51 bidan dan 55 perawat, berturut-turut hanya 2, 6 dan 4 petugas saja yang pernah menerima dana non-kapitasi, dengan nominal Rp181ribu – Rp1,176ribu per petugas per bulan. Bisa saja banyak petugas yang tidak mengetahui bahwa dana yang diterimanya berasal dari non-kapitasi (biasanya pembayaran dijadikan satu dengan dana kapitasi), ataupun karena keterlambatan pembayaran yang mencapai 11 bulan pasca tindakan dilakukan.

Dana transport dari BOK

Pengganti uang transportasi bersumber BOK diberikan pada petugas yang turun ke lapangan atau melakukan kegiatan luar gedung. Nominal telah ditetapkan sesuai dengan peraturan daerah masing-masing yang berlaku. Sebagian petugas menganggap dana BOK ini insentif karena “pemberiannya berbeda bagi yang rajin melakukan kegiatan dengan yang malas”. Sedangkan sebagian lagi menganggap bahwa dana transportasi ini sekedar pengganti ongkos transportasi yang memang dikeluarkan oleh petugas yang turun ke lapangan.

Dari semua sumber tersebut, apa yang menjadi insentif? Kapitasi telah memberikan insentif lebih bagi beban kerja tambahan penanggung jawab program dan dibayarkan tepat waktu, tetapi belum berdasarkan kinerja yang dilakukan. Sedangkan dana non-kapitasi dibayarkan sesuai dengan kinerja petugas dalam memberikan pelayanan tindakan terkait non-kapitasi, tetapi pembayarannya sangat lambat dan tidak banyak petugas mengetahui mengenai pembayaran non-kapitasi tersebut, baik keberadaan pendapatan dari non-kapitasi maupun cara penghitungannya. Dana transport dari BOK yang sebetulnya hanya dialokasikan untuk mengganti transportasi saat kegiatan luar gedung justru dianggap sebagai insentif oleh petugas.

Diskusi

Kepala Badan PPSDM Kemenkes RI, drg. Usman Sumantri, MSc, mengangkat isu mengenai adanya dual practice yang sesungguhnya permasalahan yang dihadapi oleh ‘user’ dari tenaga kesehatan. “Produksi tenaga dokter itu 11,000 per tahun, kalau pemerintah tidak sanggup menampung semua pegawa itu jadi pemerintah harus membuka peluang di swasta”, ungkap Usman. Dual practice ini seharusnya bisa dikelola lebih baik lagi dengan meratakan kepesertaan antara fasilitas Puskesmas dan swasta. “Lebih dari 20,000 FKTP yang sudah dikontrak BPJS Kesehatan, ada 9,774 Puskesmas yang dikontrak dengan 82.6% peserta terdaftar di Puskesmas”, lanjut Usman. Hal ini menimbulkan adanya ketimpangan dari aspek ‘demand’ terhadap tenaga kesehatan antara sektor pemerintah dan swasta. Pemerintah perlu mengambil tindak lanjut mengenai ‘pemanfaatan’ dari tenaga kesehatan ini. Regulasi tentang standar insentif tenaga kesehatan perlu diatur, terutama di sektor swasta.

Mengenai standarisasi insentif tenaga kesehatan, Laode dari Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer Kemenkes menyatakan bahwa perlu dipertimbangkan lagi apakah bisa diterapkan untuk seluruh wilayah RI ataukah perlu ada penyesuaian untuk daerah tertentu. Mengenai pentingnya insentif berupa sarana dan prasarana, sebetulnya dari dana kapitasi dapat dialokasikan sesuai keperluan fasilitas. Namun demikian semua tergantung pada kepala Puskesmas sebagai pengelola.

Staf ahli Menkes bidang Ekonomi Kesehatan, dr. Donald Pardede, MPPM, menggarisbawahi penyebab dari kurang tersalurnya insentif itu karena ada nya permasalahan dengan tatakelola administratif. Sebagai contoh untuk pemanfaatan dana non-kapitasi masih banyak bupati atau walikota yang belum menerbitkan peraturan khusus untuk mengatur permasalahan tersebut. Di samping itu, dana kapitasi serta sisa pemanfaatan dana kapitasi di tahun sebelumnya, perlu memenuhi persyaratan tatakelola yang sudah ditetapkan oleh Kemendagri. “Apakah betul di semua daerah persyaratan tatakelola itu sudah dilakukan? Kalau belum, maka insentifnya tidak dapat seperti yang diharapkan”, ungkap Donald. Donald juga menggarisbawahi pentingnya distribusi kepesertaan serta sharing data yang baik mengenai kepesertaan dalam meng-insentif petugas kesehatan.

klik disini

Continue Reading No Comments

11 Dec2017

Review Artikel: Factors affecting motivation and retention of primary health care workers in three disparate regions in Kenya

11/12/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Cop Primer

Kenya menghadapi tantangan tentang kekurangan tenaga kesehatan dan retensi tenaga kesehatan rendah serta kesulitan dalam mencapai pemerataan sumber daya manusia kesehatan khususnya di daerah yang sulit dijangkau. Kementerian kesehatan Kenya mengidentifikasi bahwa ada 1,5 petugas kesehatan per 1.000 penduduk di Kenya, sedangkan batas minimum untuk mencapai cakupan minimum yang telah ditentukan oleh WHO adalah 2,3 petugas kesehatan per 1.000 penduduk, sehingga terjadi kekosongan sebesar 29 persen. Kebijakan pemberian insentif terhadap penyedia layanan kesehatan untuk daerah pedesaan dan terpencil, agar dapat bertahan pada daerah tersebut.  Penelitian ini menggunakan metode mix  method dengan penggunaan 3 metode pengumpulan data  langsung terhadap 404 responden yang terdiri dari 98 dari Turkana, 135 dari Machakos dan 171 dari Kibera, melalui kuisioner tertutup dan kemudian dikonfirmasi melalui wawancara langsung. Setelah data tersebut terkumpul, selanjutnya diskusi kelompok terarah staf dilakukan terpisah antara staf pendukung dan staf operasional layanan. Tujuan penelitian untuk menginvestigasi faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi dan retensi dari petugas fasilitas kesehatan tingkat pertama di tiga daerah yang berbeda, Turkana, Machakos dan Kibera.

Turkana adalah tempat yang terpencil dan sulit dijangkau (remote area). Turkana memiliki keterbatasan akses listrik, peralatan dan transportasi, selanjutnya perumahan yang kurang memadai, pembayaran pegawai pendukung yang tidak cukup dan kondisi fisik fasilitas kesehatan dapat menurunkan motivasi dan retensi tenaga kesehatan. Turkana memiliki jumlah proporsi tenaga kesehatan untuk perawat dan tenaga klinis paling sedikit. Tenaga kesehatan di Turkana memiliki proporsi tertinggi untuk beban kerja yang tak terkendali.­ Ketersediaan pelatihan yang mendukung pekerjaan masih menjadi masalah di tempat ini. Turkana memiliki angka yang signifikan untuk faktor yang berhubungan alasan untuk berpindah tempat kerja baik distrik maupunn mengambil pekerjaan di luar fasilitas kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi geografis dan iklim yang ekstrem. Selanjutnya karena mayoritas petugas kesehatan di Turkana adalah laki-laki, mereka menuntut adanya paternity leave (cuti tahunan untuk seorang ayah). Turkana juga memiliki sejumlah isu budaya yang menjadi penghalang yaitu wanita tidak diperbolehkan dikunjungi perawat pria, wanita didorong untuk melahirkan dalam posisi berdiri, dan setelah melahirkan, ibu tidak diperbolehkan menyusui pada malam hari.

Machakos adalah tempat yang mudah diakses dan menjadi daerah yang paling diminati oleh tenaga kesehatan. Hasil temuan menunjukkan bahwa Machakos memiliki jumlah proporsi tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan primer terbanyak yaitu untuk perawat (yang terdaftar) dan tenaga klinis. Hanya 5,9 persen dari partisipan di Machakos setuju bahwa gaji yang diterima sudah setimpal dengan pekerjaan. Partisipan dari Machakos menyebutkan bahwa jika terdapat alasan untuk berhenti maka alasan yang tepat adalah tidak adanya tunjangan komputer, Tingginya beban kerja dan birokrasi pemerintahan. Retensi yang diharapkan untuk dapat membuat pegawai kesehatan bertahan di Machakos, terdiri dari gaji yang lebih baik, on the job training, dan juga pemenuhan tenaga kesehatan.  Sedangkan Machakos memiliki isu budaya yaitu masih percaya terhadap adanya ilmu sihir dan menggunakan ramuan dan mantra untuk penyakit tertentu. Pegawai muda kesulitan dalam mengawasi pemegang program yang lebih tua.

Kibera merupakan wilayah permukiman kota yang kurang menguntungkan. Pekerja pada daerah ini mayoritas terdiri dari wanita. Kibera memiliki isu diskriminasi dalam pelatihan, komunikasi yang buruk maupun kolusi karena suku dan juga terdapat persaingan antara petugas kesehatan. Retensi pegawai di Kibera dapat ditingkatkan melalui peningkatan tunjangan (medis, perumahan, lembur dan uang cuti) serta adanya peningkatan waktu cuti untuk ibu hamil. Kibera memiliki isu budaya tentang pria harus mengontrol keluarga berencana, terutama masalah kesehatan reproduksi sehingga kadang kala merugikan wanita. Kibera berhadapan dengan masalah manajemen organisasi yaitu garis pelaporan dan supervisi yang berganda menjadi kesulitan dalam koordinasi pekerjaan. Sejumlah partisipan menyatakan bahwa adanya ketersediaan pelatihan yang mendukung pekerjaan mereka.

Kesimpulan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk Indonesia adalah sama-sama memiliki kelompok daerah yaitu daerah yang mudah akses, kurang menguntungkan dan sulit dijangkau, sehingga mengakibatkan perbedaan masalah retensi dan motivasi petugas bergantung pada karakteristik wilayah. Untuk mempersempit kesenjangan retensi, maka perlu adanya pengembangan paket kompensasi untuk daerah sulit dijangkau dan kurang menguntungkan. Pengembangan kompensasi harus dinamis sesuai dengan kebutuhan pekerja pada masing-masing daerah. Kompensasi yang diberikan tidak hanya memperhatikan faktor pekerja saja, tetapi juga mempertimbangkan faktor keluarga dari pekerja seperti perawatan kesehatan keluarga dan juga sarana pendukung daerah tersebut. Selengkapnya

Continue Reading No Comments

09 Nov2017

Review Artikel Posting and transfer in the Ghanaian health system: a study of health workforce governance

09/11/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Cop Primer

Berbagai literatur di negara berkembang telah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi tenaga kesehatan untuk bekerja di tempat tertentu, antara lain: remunerasi, peluang peningkatan karir, kelengkapan fasilitas, akses untuk kehidupan yang mudah (ketersediaan sekolah untuk anak, pekerjaan untuk pasangan, infrastruktur jalan) dan akomodasi. Namun demikian, hanya sedikit artikel yang membahas bagaimana pengaruh dari ‘governance’ atau sistem pemerintahan terhadap distribusi tenaga kesehatan. Artikel ini bertujuan menggali kebijakan dan proses secara formal maupun informal yang mendukung praktek “Posting and Transfer” pada tingkat distrik.

Penelitian yang dilakukan di Ghana ini mengambil lokasi salah satu wilayah di ibukota, The Great Accra Region yang merupakan salah satu kota terpadat, sehingga dapat menjadi tujuan atau pilihan yang sangat menguntungkan untuk tenaga kesehatan sendiri. Penelitian ini membandingkan retensi tenaga kesehatan di tempat kerja di 2 distrik (di Indonesia, setara kecamatan), dimana distrik A dipandang sangat menguntungkan karena merupakan wilayah pedesaan dan kota kecil, sedangkan distrik B dipandang sebagai kota yang dihindari karena memiliki wilayah terluas dengan 167 komunitas yang tersebar. Ghana mengimplementasikan sistem posting and transfer bertujuan untuk pemerataan tenaga kesehatan di di semua tempat layanan kesehatan.  

Ghana memiliki Ghana Health Service (GHS) yang berada di bawah Ministry of Health (MoH) di tingkat pusat yang berfungsi sebagai badan pengelola pelayanan kesehatan publik. Kelembagaan GHS bersifat terdesentralisasi di tingkat nasional, regional, kabupaten dan sub-kabupaten. MoH berwenang dan bertanggung jawab pada perencanaan kesehatan, administrasi dan pengembangan tenaga kerja di seluruh agensi yang berbeda. GHS memiliki divisi sumber daya manusia yang bertanggung jawab untuk pelatihan, perencanaan dan pengelolaan tenaga kerja layanan kesehatan pada sektor publik yang dikelolanya.

Kebijakan posting dan transfer ini bertujuan untuk penyebaran tenaga kesehatan yang setara, sesuai dengan perencanaan dan kebutuhan setiap kabupaten. Kebijakan tersebut masih menyisakan persoalan tentang sistem insentif yang tidak membedakan antara pedesaan dan perkotaan sehingga memberi kontribusi terhadap ketidakmerataan staf. Kebijakan ini juga menerapkan prinsip “melatih dan mempertahankan” yang berarti bahwa lulusan baru dari institusi pelatihan MoH, bersedia untuk kembali ke tempat dimana mereka dilatih.  

Namun masih terdapat kelemahan dalam kebijakan ini, yaitu tidak adanya perbedaan insentif antara kota dan desa yang mengakibatkan ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan. Lebih jauh dari kebijakan ini yaitu adanya mekanisme lobi informal terhadap pengambil keputusan yang dikenal dengan “Who You Know” pada berbagai tingkat dan juga sifat hierarki sistem kesehatan yang menjadi isu lain. Tenaga kesehatan merasa harusnya ada informasi mengenai studi kelayakan maupun alasan mengapa mereka harus dipindahkan, sehingga mereka tidak memiliki pemahaman yang sama antara manajer dan staf pada berbagai tingkat. Fakta yang muncul dari kebijakan ini adalah kebanyakan staf merasa tidak berdaya untuk menolak penempatan dan jika ada yang berani, alasan utamanya adalah sudah memiliki kenalan yang mampu mengganti penempatan (Kwamie et al, 2017).

Artikel

Continue Reading No Comments

Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar