• Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar
02 Apr2018

Sudah Adilkah Pembagian Beban Kerja dan Insentif Kepada Petugas Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama?

02/04/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Reportase Kegiatan

Reportase

Diskusi Webinar Kelompok Masyarakat Praktisi Pelayanan Kesehatan Primer:

Sudah Adilkah Pembagian Beban Kerja dan Insentif Kepada Petugas Kesehatan

di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama?

 

Yogyakarta, 29 Maret 2018

 

Pembagian beban kerja tenaga kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seringkali dirasa belum adil oleh beberapa pihak. Kecemburuan antartenaga kesehatan di FKTP perihal beban kerja juga seringkali terjadi. Demikian halnya dengan sistem insentif yang diterima oleh petugas juga dinilai masih belum adil oleh beberapa petugas kesehatan. Ketidakadilan tersebut disebabkan oleh multifaktor, mulai dari indeks beban kerja, tanggung jawab, risiko pekerjaan, dan sebagainya. Webinar kali ini mengulas bagaimana pembagian beban kerja dan insentif yang dirasa adil oleh petugas di FKTP.

Mengawali diskusi ini, dr. Likke Prawidya Putri, MPH sebagai narasumber pertama menyampaikan hasil riset implementasi yang memotret bagaimana sistem insentif yang berlaku di beberapa FKTP di Indonesia. Disebutkan bahwa terjadi ketimpangan nominal pendapatan antarprofesi di Puskesmas. Sebagian besar perbedaan ini disebabkan oleh proporsi tunjangan daerah dan jasa pelayanan dari dana kapitasi. Selain itu, kondisi ini dikontribusi pula oleh proporsi pendapatan dari praktik mandiri di luar puskesmas. Ketimpangan pendapatan antarprofesi ini juga terjadi di berbagai daerah, misalnya di DKI Jakarta dan Jaya Wijaya. Kondisi ini berpotensi menyebabkan motivasi tenaga kesehatan untuk bekerja di daerah sulit berkurang, karena lebih memilih bekerja di kota besar.

Sementara itu, kepala dinas kesehatan Kabupaten Kulon Progo, dr. Bambang Haryatno, M.Kes menyampaikan bahwa isu SDM kesehatan memang tidak akan ada habisnya untuk dibahas, mulai dari distribusi, beban kerja, hingga pendapatan. Pada dasarnya regulasi untuk mengelola SDM di puskesmas sudah ditetapkan oleh pemerintah, akan tetapi implementasinya tidak mudah. Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo yang semua puskesmasnya sudah menerapkan PPK BLUD memiliki sistem tersendiri dalam pembagian jasa pelayanan. Sebagaimana disebutkan, pembagian jasa pelayanan ini diatur oleh peraturan bupati. Pembagian jasa pelayanan diatur berdasarkan beban kerja dan situasi yang ada. Untuk menciptakan kesepakatan (untuk mencapai keadilan), seluruh unsur yang ada di puskesmas dilibatkan dalam penentuan besaran insentif ini. Apabila sudah disepakati, maka akan dilakukan uji coba terlebih dahulu. Strategi ini dirasa cukup efektif karena kriteria adil merupakan hal yang sangat subyektif. Setidaknya, dengan melibatkan seluruh SDM, maka akan tercipta kondisi mendekati adil, atau minimal diterima semua pihak.

Menanggapi hal ini, Mawari Edi, Pusrengun BPPSDM Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa kondisi adil sangat subyektif dan tergantung dengan konteks. Tidak bsa dipungkiri bahwa dalam menghitung porsi pendapatan atau insentif, yang penting diperhatikan adalah aspek penerimaan dari tenaga kesehatan. Menciptakan adil memang susah, tetapi menciptakan yang “bisa diterima” dapat diupayakan. Keadilan insentif disesuaikan dengan kapasitas investasi dan output pekerjaan. Sementara itu, Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan RI yang diwakili oleh dr. Ganda menyampaikan dalam pembagian beban kerja, analisis beban kerja merupakan kegiatan yang harus dilakukan. Pendapatan aparatur sipil negara ditentukan berdasarkan beban kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaan. Tingginya pendapatan dokter di DKI Jakarta sebagaimana dicontohkan dapat terjadi karena banyak faktor, seperti tingginya beban kerja di puskesmas sehingga dokter tidak sempat membuka praktik pelayanan mandiri, atau karena ada faktor lain. Selain masalah keadilan, isu kepuasan atas insentif yang diterima juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Sebagaimana disebutkan, faktor yang penentu kepuasan atas insentif selain keadilan secara teoritis adalah access, attractiveness, amenity, dan altruism. Selain keempat hal tersebut, ternyata yang paling penting adalah kepastian waktu. Besaran nominal apabila tidak disertai kepastian waktu sampai kapan pun tidak dapat menciptakan kepuasan petugas.

 

Reportase oleh: Dedik Sulistiawan

Continue Reading No Comments

16 Mar2018

Reportase Seminar Nasional Peran Dinas Kesehatan Dalam Sistem Kesehatan yang “Terfragmentasi” di Era JKN

16/03/2018. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Reportase Kegiatan

Reportase Seminar Nasional

Peran Dinas Kesehatan Dalam Sistem Kesehatan yang “Terfragmentasi” di Era JKN

Reporter: Ucha Cintyamena

Seminar peran dinas kesehatan dalam system kesehatan yang terfragmentasi di era JKN dilaksanakan pada Senin, 12 Maret 2018 pukul 10.00-12.00 Wib di ruang Theater Perpustakaan UGM. Kegiatan ini dimoderatori oleh dosen FKKMK UGM yang sekaligus konsultan PKMK yaitu Dr. dr. Dwi Handono S, M.Kes.

Pembukaan oleh Prof. Laksono Triasnantoro, MSc, Ph.D

Fragmentasi sistem kesehatan pada Era JKN merupakan suatu pengkotakkan fungsi tata pelayanan kesehatan yang “didaerahkan” atau “dipusatkan”. Untuk tata layanan kesehatan yang berupa sistem kesehatan fungsinya merupakan suatu yang didaerahkan, sedangkan untuk sistem jaminan kesehatan fungsinya berupa fungsi terpusat. Kedua lembaga ini, Kementrian Kesehatan yang mengatur sistem kesehatan dan BPJS yang mengatur jaminan kesehatan menyasar hal yang sama, yaitu kesehatan pada masyarakat. Namun adanya fragmentasi menyebabkan ketidakcocokan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan terkait keterbatasan penggunaan data yang ada. Data pada kedua lembaga tersebut hanya tersinkronisasi pada level pusat, sedangkan pada level kabupaten/ provinsi tidak ada.

Adanya fragmentasi menyebabkan dibutuhkannya penguatan sistem karena: 1) tidak ada semacam analisis data di tingkat daerah ataupun kecamatan, hanya BERfoKus di BPJS dan ini sifatnya sentralistik, 2) Ada inpres yang mewajibkan BPJS melakukan share data tapi hanya di tingkat pusat padahal seharusnya agar bisa digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan di daerah sesuai kondisi kesehatan masyarakat daerah.

Lalu bagaimana peran dinas kesehatan seharusnya menjadi pertanyaan penting dalam keadaan yang terjadi. Saat ini dinas kesehatan lebih berperan sebagai kontraktor dalam sistem purchasing sedangkan fungsi regulasi dan pengawasannya terpinggirkan. Dalam principle agent relationship, BPJS merupakan “purchaser”, berhubungan dengan masyarakat sebagai agen warga negara, dan berhubungan dengan pemberi pelayanan sebagai principal, serta berperan sebagai agen yang ditunjuk pemerintah. Pemerintah seharusnya menjalankan peran sebagai “steward” di samping perannya dalam memberikan pendanaan, pelayanan kesehatan, dan arah kebijakan.

Apabila fragmentasi ini terus berlanjut maka akan berisiko terhadap munculnya masalah dalam pengelolaan penyakit, dalam menyusun sistem rujukan, dan pembiayaan JKN dimana BPJS akan defisit.

 

Paparan 1 – dr. Untung Suseno S., M.Kes (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia)

Setuju bahwa saat ini peran dinas kesehatan dalam era JKN lebih ke pengawas. Kondisi dinas kesehatan masih sangat bervariasi terkait perannya sebagai steward, ada yang kuat namun banyak juga yang masih lemah. Apalagi jika menyangkut jumlah SDM dalam peranannya menjalankan program dan peran pengawasan. Seharusnya fungsi program lebih baik jika dipegang oleh puskesmas.

Peranan dinas kesehatan dalam era JKN telah mempunyai dasar hukumnya. Perubahan dasar hukum telah beberapa kali terjadi dan disitu juga telah dijelaskan peranan dinkes terhadap BPJS. Arah kebijakan Kemenkes terhadap dinas kesehatan seharusnya memang seperti yang sebelumnya telah dijelaskan oleh Prof. Laksono, akan tetapi yang memegang uang adalah BPJS. Sehingga BPJS sebagai instansi yang memegang uang akan lebih menentukan arah kebijakan. Namun sebagai regulator juga tetap mengawal prosesnya.

Tanggapan dari Prof. Laksono: Kemenkes telah memiliki gambaran yang jelas bahwa perlu peran yang kuat di dinas kesehatan, tetapi Pemda masih belum.

 

Paparan 2 – dr. H. Dodo Suhendar, MM (Dinas Kesehatan Jawa Barat)

Regulasi yang telah ada (UU Kesehatan 2009 tentang sistem kesehatan nasional, Perpres 72 tahun 2012 tentang JKN) harus disesuaikan terlebih dahulu sehingga tidak tumpeng tindih, yang dalam tatanan kelembagaan ada yang merasa lebih kuat. Peran dinkes yang seharusnya menjadi regulator malah menjadi kontraktor, sedangkan BPJS yang seharusnya menjadi “purchaser” malah bergeser menjadi regulator.

Dari segi manajemen dibutuhkan peningkatan upaya kesehatan, dimana dibutuhkan kesepakatan BPJS dan dinkes tentang kondisi kesehatan saat ini adalah manifestasi masa lalu. Fokus yang harus dilaksanakan adalah upaya preventif dan promotif kesehatan. Karena bagaimanapun dana akan terus berkurang karena kondisi memburuk. Hal yang harus dilakukan ke depan adalah penguatan SDM, pelayanan kesehatan, dan pengurangan rujukan. Upaya peningkatan upaya kesehatan juga membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.

Tanggapan dari Prof. Laksono: Jawa Barat masih belum menggunakan data BPJS dalam perencanaan. Sebelumnya telah disampaikan hal tersebut merupakan observasi/ fragmentasi, tetapi masih perlu dilakukan verifikasi lanjutan.

 

Paparan 3 – Dra. Hj. Mimi Yuliani Nazir, Apt.,MM (Dinas Kesehatan Provinsi Riau)

Hal yang diharapkan dari dinkes adalah sebagai perumus, pengawas, dan regulator. Terkait sinergi yang terjadi di pusat dan daerah sebagaimana dengan BPJS, di provinsi Riau tidak ada data laporan rutin bulanan. Data bisa diperoleh jika dinkes meminta secara resmi ke BPJS, misalnya data 10 penyakit terbesar. Peraturan yang dikeluarkan BPJS sebagai lembaga yang memiliki anggaran, mau tidak mau harus dipenuhi oleh dinkes. Harapannya akan ada peraturan yang bisa memberikan peranan yang kuat kepada dinkes provinsi dan kabupaten/kota, sehingga tidak hanya menjadi “kontraktor”.

Provinsi Riau sudah menggunakan InaCBG dengan sistem klaster. Jika ada kelebihan pembayaran yang terjadi di rumah sakit maka tidak ditanggungkan ke masyarakat tetapi ditanggung oleh pemerintah daerah.

Selain dana PBI APBN, dana yang masyarakat miskin di Provinsi Riau juga didapat melalui budget sharing provinsi dan kabupaten dengan rasio 30:70 atau 40:60 tergantung dengan kondisi keuangan masing-masing. Dana yang bisa dikeluarkan pemerintah provinsi adalah sekitar 80 M, di luar Jamkesda. Namun masih belum ada data jumlah yang pemerintah bayarkan apakah melebihi klaim atau tidak.

Tanggapan dari Prof. Laksono: yang menjadi isu adalah berapa banyak uang BPJS yang didapat dari provinsi. Riau dan berapa rupiah dana yang dikeluarkan BPJS untuk provinsi Riau, apakah rugi atau tidak.

 

Paparan 4 – dr. Joko Mardianto, M.Kes (perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah)

Peran dinas kesehatan seharusnya adalah sebagai regulator dan harus mengikuti Perpres 12 tahun 2012. Peranan ini masih harus ditingkatkan mengingat masih banyak kewenangan yang belum digunakan dalam pengelolaan kesehatan. Di Jawa Tengah, perencanaan yang dilakukan masih belum menggunakan data BPJS, dimana sebagian besar menggunakan data-data program. Karena data yang tidak ada tersebut, dinkes juga masih belum menganalisis sistem rujukan yang ada apakah telah berjalan baik atau belum. Perbaikan Inpres No. 6 Tahun 2011, seharusnya bisa menguatkan data-data yang ada di BPJS untuk disinkronkan dengan data di tingkat kabupaten/kota maupun di provinsi.

Seperti halnya di provinsi Riau, di Jawa Tengah upaya preventif promotif telah banyak dilakukan tetapi masih terkendala di era JKN ini terkait pembiayaan; misalnya sudah dianggarkan di UKM tetapi bagaimana jika sampai dirawat di RS.

Tanggapan dari Prof. Laksono: data BPJS dan data program masih tercampur. Padahal BPJS memiliki rincian data yang rinci. Berdasarkan Impres 2017 seharusnya daerah bertanggung jawab, tetapi bagaimana bisa bertanggung jawab jika datanya masih belum dibuka.

 

Paparan 5 – dr. Bambang Haryatno, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo)

Peran dinkes di Era JKN, khususnya fungsi regulator yang menjadi isu kunci cukup terabaikan, dimana banyak peraturan yang harus dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota. Peraturan yang ada sebenarnya bisa dikritisi dan dibatalkan. Contohnya peraturan BPJS No 2 Tahun 2014 tentang kapitasi yang dikaitkan dengan kapasitas SDM diganti dengan Perpen No 3 Tahun 2014.

Di kabupaten Kulon Progo, dinas kesehatan telah melakukan banyak sinergi dengan BPJS, khususnya terkait kapitasi. Beberapa daerah banyak yang terjebak dengan PP 32 Tahun 2014 yang dilandasi dengan Permenkes 14 Tahun 2014 terkait dengan penggunaan dana kapitasi. Banyak yang berlomba-lomba menggunakan dana kapitasi untuk pelayanan kesehatan.

Terkait data, domain kepesertaan yang digunakan untuk data BPJS bukan dari data kesehatan melainkan dari data dinas sosial. Selain itu data BPJS pusat masih menggunakan baseline 2010. Isu lain yang muncul adalah contact rate dan ID rate. Harapannya dalam penyusunan peraturan menyangkut dengan BPJS dan kolaborasi dengan kesehatan, diharapkan dinkes yang di daerah turut dilibatkan. Selain itu perananan dinas kesehatan dikuatkan lagi.

Tanggapan dari Prof. Laksono: ternyata di daerah juga ada tanggapan bahwa BPJS merupakan sistem tersendiri.

 

Kesimpulan:

  1. Kepala Dinas Kesehatan yang hadir dalam seminar ini sepakat bahwa perlu adanya penguatan bagi Dinas Kesehatan dalam melakukan perannya sebagai regulator.
  2. Perlu kebijakan baru dari pemerintah berdasarkan penelitian yang dilakukan di lingkup pemerintahan.
  3. Perlunya lobi dari kepala Dinas Kesehatan dan asosiasi Dinas Kesehatan pada BPJS untuk melakukan transparansi, baik data penyakit maupun data keuangan.
  4. BPJS perlu mengakui bahwa Dinas Kesehatan memiliki kewenangan untuk pelayanan kesehatan di daerah.

Continue Reading No Comments

15 Dec2017

Penilaian Akreditasi Puskesmas Besikama Kabupaten Malaka

15/12/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Reportase Kegiatan

Reportase

Penilaian Akreditasi Puskesmas Besikama

Kabupaten Malaka

4 – 6 Desember 2017

 

Sejak 2016, Dinas Kesehatan kabupaten Malaka telah bekerjasama dengan Dinas Kesehatan kabupaten Kulon Progo untuk mempersiapkan akreditasi FKTP di Kabupaten Malaka. Kerjasama ini difasilitasi oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan  Universitas Gadjah Mada. Puskesmas Besikama merupakan satu dari empat Puskesmas di Kabupaten Malaka, yang pada 2017  melaksanakan survei akreditasi.

Puskesmas Besikama memiliki beberapa program inovatif yang telah berjalan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah setempat. Beberapa program inovatif PKM Besikama adalah Lensa Toga Motaulun, Ineserator Sederhana dan Jurnal Terompet Edukasi Besikama Sehat (Tebes). Puskesmas Besikama telah melakukan upaya-upaya dan perbaikan-perbaikan untuk memenuhi standar akreditasi FKTP melalui kaji banding, workshop, perbaikan gedung, pemenuhan sarana prasarana dan SDM Kesehatan serta upaya-upaya lainnya. Hal ini diharapkan dapat memberikan nilai yang positif terhadap survei akreditasi yang akan dilaksanakan.

Survei akreditasi di Puskesmas Besikama dilaksanakan pada 4 hingga 6 Desember 2017.  Survei akreditasi dilaksanakan oleh tiga surveyor yakni Surveyor Upaya Kesehatan Perorangan dr. Hartanto Hardjono, M.Med,Sc dari Jawa Tengah (Ketua), Surveyor Administrasi Manajemen (Admen) Tarsisius Jelalu, SKM, M.Kes dari Nusa Tenggara Timur dan Surveyor Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Yustina Octaviana Doa, SKM dari Nusa Tenggara Timur. Tim Surveyor  tiba pada 3 Desember, dilanjutkan dengan pertemuan di aula Hotel Victori pada pukul 19.00 Wib. Pertemuan ini dihadiri oleh kepala Puskesmas Besikama, kepala Tim Pokja  admin, UKM dan UKP serta ketua Tim mutu untuk membahas dan menyusun kesepakatan tentang alur kegiatan selama 3 hari proses penilaian akreditasi.

Kegiatan hari pertama dimulai pada pukul 08.00, tim surveyor datang ke PKM Besikama dan disambut oleh para penari cilik dari SD Katolik Besikama 1, kemudian dilanjutkan dengan “Hasehakawa”  atau sapaan oleh tokoh adat.  Acara pembukaan  dimulai dengan menyanyi lagu Indonesia Raya, kemudian kepala Puskesmas Besikama memberikan sambutan ucapan selamat datang dan dilanjutkan dengan menyanyikan mars Puskesmas Besikama dan yel-yel Besikama. Setelah itu, sambutan dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka dan doa yang dipimpin oleh Romo Pius.

Setelah acara pembukaan, tim surveyor mengambil alih sebagai pemimpin acaradan kepala Puskesmas Besikama melakukan presentasi di depan tim surveyor.  Tim surveyor mulai melakukan penilaian dokumen administrasi, UKM dan UKP. Selain melakukan penilaian, tim surveyor juga memberikan pembinaan terkait kelengkapan dokumen akreditasi.  Kegiatan hari pertama dilaksanakan hingga pukul 16.00. Kegiatan hari kedua sama dengan hari pertama, tetapi sebelum melanjutkan penilaian dokumen terlebih dahulu dilakukan evaluasi oleh tim surveyor kepada staf Puskesmas Besikama. Penilaian pada dokumen diselesaikan pada hari kedua.

besikama-1

besikama-2

Foto 1. Acara pembukaan Penilaian Akreditasidi Puskesmas Besikama 

Kegiatan hari ketiga dimulai pada pukul 08.00, terlebih dahulu dilakukan review ulang dan presentasi oleh tim surveior selama kurang lebih satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan wawancara pada kepala  Puskesmas  Besikama,  ketua tim mutu, admin, UKM dan UKP. Proses penilaian akreditasi dilanjutkan juga dengan wawancara pada pihak-pihak terkait dan yang bekerjasama dengan Puskesmas Besikama. Proses wawancara dilkaukan dengan Camat Besikama, ketua PKK, tokoh agama, BKKBN, tokoh masyarakat, kepala Sekolah SMP, SMA dan SD, kepala desa, kader, NGO Bethesda, Ketua kelompok Lensa tanaman obat (Toga) Motaulun. Tim surveyor juga melakukan kunjungan langsung ke lokasi Toga. Acara penutupan dilakukan oleh  kepala dinkes kab. Malaka pada pukul  14.30  dengan menyanyikan lagu Padamu Negri dan dihadiri oleh lintas sektor, staf Puskesmas dan semuanya. Setelah itu tim Surveior memberikan gambaran perbaikan untuk proses akreditasi dan menyerahkan kembali kekuasaan kepada kepala Puskesmas Besikama.

Kontributor : Yohanes Blegur, A.md,KG

Reporter : Aprilia Grace A Maay,MPH.,Apt

Continue Reading No Comments

12 Dec2017

Penilaian Akreditasi Puskesmas Weoe Kabupaten Malaka

12/12/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Reportase Kegiatan

Penilaian Akreditasi Puskesmas Weoe Kabupaten Malaka

7 -9 Desember 2017

pkm-weoe-1

Sehubungan surat Nomor : Dinkes.Yankes.1198.445/IX/2017 tanggal 8 September 2017 tentang permohonan survei akreditasi Puskesmas di Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Komisi Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) menugaskan tim surveior untuk melaksanakan survei di Puskesmas Weoe, Kecamatan Wewiku, pada 6 – 10 Desember 2017. Penentuan jadwal penilaian akreditasi tersebut menjadi momentum bagi seluruh staf dan manajemen Puskesmas Weoe untuk siap mewujudkan kualitas layanan yang selama ini telah diberikan. Sejak didirikan pada 1967, Puskesmas Weoe adalah salah satu puskesmas yang berada di daerah pedalamanan wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Setelah hadir dan memberikan pelayanan bagi masyarakat Weoe kurang lebih 50 tahun, status puskesmas masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Berdasarkan SK Bupati Malaka No.50/HK/2017 Puskesmas Weoe memiliki status sebagai puskesmas sangat terpencil. Meskipun menyandang status demikian, Puskesmas Weoe tetap berusaha meningkatkan upaya perbaikan mutu pelayanan dari setiap sisi baik internal maupun eksternal manajemen puskesmas. Dengan mengusung visi “Menjadi Puskesmas Dengan Pelayanan Bermutu Sebagai Mitra Masyarakat, Menuju Wewiku Yang Sehat”, semangat persiapan akreditasi yang dilakukan oleh Puskesmas Weoe terbilang mengalami kemajuan.

Langkah-langkah persiapan menuju akreditasi Puskesmas sebenarnya telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka bersama Puskesmas sejak 2016. Berbagai kegiatan seperti workshop dan kaji banding ke Kabupaten Kulon Progo serta dokumen pendukung dan aspek legalitas lainnya telah dipersiapkan tim secara bersama dan terkoordinasi. Semuanya dilakukan dalam rangka mempersiapkan puskesmas agar dapat menghadapi survei akreditasi dengan harapan mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebagai tahap awal, survei akreditasi Puskesmas tahun 2017 di Kabupaten Malaka dilaksanakan terhadap 4 puskesmas yaitu Puskesmas Weoe, Puskesmas Besikama, Puskesmas Betun dan Puskesmas Namfalus.

pkm-weoe-2

Pada Rabu 7 Desember 2017 Tim Surveior Akreditasi Puskesmas yang berasal dari Kementerian Kesehatan RI tiba di Kabupaten Malaka untuk mulai melaksanakan tugasnya. Kedatangan tim ini disambut langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka drg. Farida Fahik mewakili Pemerintah Kabupaten Malaka dan didampingi oleh Plt. Kepala Puskesmas Weoe beserta jajaran Dinas Kesehatan dan staf Puskesmas Weoe. Dalam sambutannya, drg. Farida Fahik menyampaikan bahwa melalui akreditasi puskesmas diharapkan kinerja Puskesmas Weoe akan semakin baik sehingga pelayanan kesehatan kepada masyarakat menjadi berkualitas dan memberikan banyak manfaat kepada masyarakat khususnya yang berada diKabupaten Malaka. Setelah seremonial pembukaan, kegiatan penilaian akreditasi hari pertama dilanjutkan dengan pemaparan oleh manajemen Puskesmas Weoe dan dilanjutkan proses penilaian.

Survei akreditasi Puskesmas Weoe dilaksanakan selama tiga hari oleh tiga surveior yakni Surveior Administrasi Manajemen (Admen) Tarsisius Jelalu, SKM, M.Kes dari Nusa Tenggara Timur, Surveior Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Yustina Octaviana Doa, SKM dari Nusa Tenggara Timur serta Surveior Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dr. Hartanto Hardjono, M.Med, Sc dari Jawa Tengah.

pkm-weoe-3

Dalam rangka memudahkan proses penilaian akreditasi maka kegiatan akreditasi sepenuhnya dikendalikan oleh tim surveyor. Dari pemantauan tim di lokasi, kegiatan penilaian dokumen dilakukan secara terpisah berdasarkan masing-masing kelompok kerja akreditasi. Sebelum melakukan penilaian, tim surveyor menegas beberapa hal penting yaitu penilaian dokumen awalnya dimulai dari petugas harus memahami maksud dan tujuan penyusunan dokumen, menyatukan ide juga pendapat dari berbagai petugas dan bukan hanya sekedar melengkapi dokumen Elemen Penilaian yang terdapat dalam pedoman akreditasi, tetapi juga wajib memahami setiap standar, pokok pikiran dan kriteria yang ada di dalam buku pedoman. Selain itu,  harus ada sinkronisasi antara dokumen dari masing-masing pokja. Selama proses penilaian, seluruh dokumen yang telah dipersiapakan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan para surveior akreditasi. Selain menilai dokumen, pada hari terakhir tim surveyor juga meninjau tiap-tiap ruangan yang ada di Puskesmas Weoe.

Setelah pelaksanaan survei, rangkaian kegiatan penilaian akreditasi diakhiri dengan acara penutupan pada 9 Desember 2017. Setelah melakukan penilaian, tim akreditasi akan menyerahkan hasil penilaian ke komite akreditasi sehingga segera mungkin mendapatkan status akreditasi.

Kontributor      : Ferdy Klau, SKM (Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka)

Oleh: Perigrinus Sebong, MPH

Continue Reading No Comments

11 Dec2017

Reportase hari 3: Kegiatan Pendampingan Pelatihan Penyusunan District Health Account (DHA) Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang

11/12/2017. Written by Manajemen Pelayanan Kesehatan. Posted in Reportase Kegiatan

Reportase

Kegiatan Pendampingan Pelatihan

Penyusunan District Health Account (DHA) Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang

Kamis, 7 Desember 2017

 

Kamis, 7 Desember 2017 merupakan hari ketiga kegiatan pendampingan pelatihan penyusunan District Health Account (DHA) yang diselenggarakan di Yogyakarta, dan Tim Konsultan PKMK FK UGM sebagai pendamping dari kegiatan pelatihan.

kepahiang-3-1

Kegiatan dimulai pukul 08.30 WIB, tepatnya di ruang meeting Cakra Kusuma Hotel. Kegiatan diawali dengan arahan dari Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes, yang menjelaskan tentang Pentingnya District Health Account (DHA) untuk meningatkan sistem pembiayaan daerah sebagai salah satu fungsi pokok dalam sistem kesehatan daerah.

Beberapa materi dijelaskan oleh Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes, yakni: terkait dengan isu-isu dan teori Distric Health Account (DHA), pemaparan Dasar Hukum sebagai dasar pelaksanaan kegiatan/ program, proses Sinkronisasi Sitem Kesehatan (RPJM → RPJMD Provinsi → RPJMD Kabupaten/ Kota → Renstra → hingga Perencanaan Tingkat Perencanaan Puskesmas), serta Sasaran Penguatan Sistem Kesehatan.

Diskusi berjalan aktif, pasalnya Tim Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang sangat antusias dalam memahami penyampaian materi yang diberikan, tak jarang diskusi dilengkapi dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan sehingga memunculkan pemaparan solusi sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang ada di Kabupaten Kepahiang.

kepahiang-3-2

Kegiatan pelatihan yang telah berlangsung dari Selasa, 5 Desember 2017, diharapkan dapat menjadi semangat tersendiri oleh Tim Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang dalam rangka Penyusunan Distric Health Account (DHA). Terdapat Rencana Tindak Lanjut (RTL) kegiatan pelatihan, yaitu sebagai berikut: Advokasi ke Pimpinan Daerah terkait dengan Program Distric Health Account (DHA), menghitung taksiran biaya/ anggaran untuk pelaksanaan survei data, serta mengadakan workshop dan sosialisasi sebagai sarana advokasi yang melibatkan lintas sektor.

Terkait dengan Distric Health Account (DHA), dana/anggaran yang paling banyak digunakan yakni tindakan kuratif, penyusunan DHA baiknya dalam bentuk serial/ berjenjang sehingga konsekuen dalam penyajian data kuantitatif.

kepahiang-3-3

Dalam hal ini, Tim Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang telah mendapatkan berbagai manfaat serta ilmu terkait dengan pelatihan penyusunan Distric Health Account (DHA). Menurut Tim Dinas, setelah nanti pulang ke daerah, akan mengevaluasi kembali kinerja serta keadaan/ kondisi, memperkuat dasar dilaksanakannya kegiatan penyusunan DHA. Pada intinya adalah Tim Konsultan PKMK FK UGM siap membantu secara objektif dalam rangka penyusunan Distric Health Account (DHA) Kabupaten Kepahiang.

Oleh : Elva N.E.R

Continue Reading No Comments

  • 1
  • ...
  • 4
  • 5
  • 6
  • 7
  • ...
  • 19
Artikel Terbaru

Memahami Peran Paramedis dalam Perawatan Primer

Kajian Ketidaksetaraan Kesiapan Pelayanan dan Pengetahuan Provider di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia

Kualitas Hidup yang Berhubungan dengan Kesehatan dan Pemanfaatan Perawatan Kesehatan

Analisis Kebijakan Pendekatan Perawatan Kesehatan Primer di Liberia

Semua Artikel

Berita Terbaru

Kades Dan UPT Puskesmas Posek Jalin Kerjasama Peningkatan Pelayanan Kesehatan

18 October 2022

Dinkes Kulon Progo diminta mengevaluasi pelayanan pasien Puskesmas Wates

18 October 2022

Puskesmas Ambal-ambil Kejayan Buat Inovasi Ini agar Warga Tak BAB di Sungai

13 October 2022

Puskesmas Grabagan Gandeng Yayasan ADRA Gelar Diskusi Interaktif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

13 October 2022

Bangkalan Menuju UHC, Seluruh Puskesmas Diberi Pemahaman Aplikasi E DABU

11 October 2022

Semua Berita

  • Home
  • Tentang Kami
  • Jurnal
  • Arsip Pengantar