Reportase
Review Analisis Penyebab Masalah Kematian Ibu dan Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Integrasi Kesehatan Ibu dan Keluarga Berencana Berbasis Hak
Kabupaten Lahat
17-18 September 2018
Pertemuan Modelling of the Integrated Programming, Planning and Budgeting for Maternal Health and Rights-Based Family Planning at District Level 2017-2018telah sampai pada Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Integrasi Kesehatan Ibu – KB Berbasis Hak. Pertemuan ini berlangsung selama 2 hari pada 17-18 September 2018 di Ruang Meeting Bappeda Kab. Lahat. Tujuan kegiatan ini menganalisis situasi dan penyebab masalah kematian ibu, mematangkan alternatif problem solving kematian ibu di Kabupaten Lahat serta mengembangkan strategi dan arah kebijakan dalam pencapaian target berdasarkan strategi Rencana Aksi Nasional (RAN) Kesehatan Ibu dan Right Family Planning (RFP).
Turut hadir Tim PKMK FKKMK UGM diwakili Dwi Handono Sulistyo dan Tudiono, Wahida Paheng (BKKBN Pusat Jakarta), Nuzulyati (BKKBN Provinsi Sumsel), Irwansyah Jemaat dan Hendra (Bappeda Provinsi Sumsel) dan Tim Teknis Kab. Lahat. Dalam pembukaan dan sambutannya, Sekretaris Bappeda Kabupaten Lahat, Faizal Amrie menekankan bahwa RAD yang disusun dalam jangka 5 tahun diharapkan bisa dilaksanakan dan diimplementasikan di Kab. Lahat, baik dari segi pembiayaan maupunprogram lainnya. RAD tentunya disusun berdasarkan RPJMD, RAN dan RFP dari Kementerian Kesehatan dan BKKBN Pusat yang nantinya dapat diterjemahkan ke dalam program setiap OPD terkait.
Gambar 1. Pembukaan Pertemuan oleh Faizal Amrie Sekretaris Bappeda Kab. Lahat dan Pengantar Diskusi oleh Dwi Handono Sulistyo Tim PKMK FKKMK UGM
Sebagai pengantar diskusi hari pertama,Dwi Handono Sulistyo menekankan bahwa dalam setiap titik kerangka konsep Integrasi Kesehatan Ibu dan KB Berbasis Hak terdapat KB artinya bahwa KB merupakan salah satu faktor indikator menekan AKI. Ia juga mengatakan bahwa untuk menurunkan AKI, WUS – PUS harus sejak awal dideteksi, dijaring dan diketahui mana yang berisiko tinggi dan mana yang tidak berisiko tinggi sehingga intervensi dan deteksi dini harus sejak awal dilakukan, sejak SMP sampai menjadi calon pengantin tujuannya untuk menyiapkan perempuan agar siap dengan kehamilannya nanti.
“RAD akan disusun berdasarkan masukan – masukan dari tim teknis, sesuai dengan kondisi riil di Kab. Lahat dengan harapan RAD ini bisa diimplementasikan dan realistis dalam hal pembiayaan dan program kegiatan” tutur Dwi Handono. Dalam sesi diskusi kali ini. Tudiono bertindak sebagai moderator, presentasi diawali dengan masalah penjaringan WUS – PUS oleh Farida Hasibuan (Kabid. Penggerak Masyarakat Dinas Dalduk-KB Kab. Lahat). Saat ini di Kab. Lahat sebagian besar akseptor KB menggunakan pil dan suntik. Dinas Dalduk – KB Kab. Lahat telah memiliki data calon akseptor KB metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), namun terkendala oleh pembiayaan karena masyarakat ingin MKJP gratis. Menanggapi masalah pembiayaan, Wahida Paheng (wakil BKKBN Pusat Jakarta) menungkapkan bahwa pembiayaan MKJP gratis. Dari BKKBN Pusat secara alkon itu gratis, namun sayangnya pelayanan tindakan BKKBN berbenturan dengan regulasi misal regulasi BPJSK. Saat ini BKKBN Pusat sedang berjuang agar pembiayaan KB Pascasalin (MOW/MOP) bisa masuk dalam biaya persalinan itu sendiri.
KIE menjadi kunci agar KB MKJP menarik minat masyarakat, KIE bukan hanya tugas PLKB/PKB, PPKBD/Sub – PPKBD namun juga tugas masyarakat. Keterlibatan tokoh masyarakat dan agama juga berperan aktif untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat terkait KB MKJP. “Kegiatan KIE, sosialisasi dan advokasi kami telah maksimalkan untuk meningkatkan pengetahuan KB masyarakat” ungkap Farida.
Menggratiskan KB MKJP merupakan cara menarik akseptor KB baru dan ke depannya MOP/MOW dapat dilakukan di puskesmas meskipun kondisi saat ini belum memungkinkan karena sarana-prasarana serta fasilitas dan SDMK belum memenuhi, tutur Farida dan Agustia.
Terkait ibu nifas (Bufas) tidak ber – KB, hal ini lebih disebabkan oleh KIE belum maksimal, kompetensi tenaga kesehatan (Nakes) memberikan layanan KB pascasalin dan pemahaman KB masih kurang. Menjawab permasalahan tersebut, Agustia Ningsih (Kasie Kesehatan Keluarga) menjelaskan bahwa KIE sebenarnya sudah dilakukan sejak awal ibu hamil (Bumil) memeriksaan kehamilan di faskes yakni pemeriksaan ANC sampai nifas, untuk Bumil/Bufas RISTI Nakes menganjurkan agar menjalani KB pasca salin setelah partus dengan memberikan KIE/konseling kepada Bumil/Bufas RISTI terkait dampak ketika tidak ber – KB setelah partus. Bagi Bumil/Bufas RISTI yang tidak mau, nakes terpaksa “menakut-nakuti” dan membujuknya agar ber – KB.
KIE dilakukan sejak awal ANC oleh PLKB namun minat masyarakat untuk KB pasca salin masih rendah meskipun pelaksanaan KIE sudah maksimal dilaksanakan kepada masyarakat sambung Sulfi (Kasie pelayanan KB dinas Dalduk – KB). Pelatihan KB pascas alin untuk nakes bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan mereka terkait pemasangan layanan KB pasca salin, jika memungkinkan semua bidan harus dilatih namun jika pembiayaan tidak memungkinkan maka cukup bidan penanggung jawab wilayah.
Terkait peningkatan kapasitas SDMK di Kab. Lahat, BKKBN Provinsi diwakili oleh Nuzuliyati mengatakan sebagai kabupaten pilot project akan menjadikan Lahat sebagai prioritas dalam pengembangan dan peningkatan kapasitas/pelatihan terkait KB pasca salin.
Gambar 2. Diskusi dan Tanggapan Analisis Penyebab Masalah Kematian Ibu Kab. Lahat
Kualitas dan kuantitas nakes, pembiayaan, regulasi dan sosialisasi serta faktor budaya menjadi hambatan dan masalah pelayanan KB Berbasis Hak belum/ tidak berjalan optimal di Kab. Lahat. Dwi Handono menjelaskan seharusnya KB Berbasis Hak itu adalah memperhatikan hak pasien (akseptor KB) baik dari segi hak mendapatkan KIE, misalnya KIE mulai dari pra pemasangan-pasca pemasangan KB, pelayanan dan tindakan KB seperti bagaimana prosedur pencabutan KB (IUD atau IMPLAN) dan KB Berbasis Hak terkait geografis adalah pemerataan informasi tentang KB dan pelayanan KB harus merata antara di kota dan desa.
Menanggapai pengertian KB Berbasis Hak yang disampaikan oleh Dwi Handono Sulistyo seluruh OPD terkait sepakat bahwa seharusnya semua pasien yang ingin ber – KB berhak mendapatkan KIE, pelayanan dan tindakan medis KB. Untuk itu, perlu adanya regulasi atau SOP yang seragam terkait pelayanan KB Berbasis Hak di Kab. Lahat sehingga Hak pasien dalam mendapatkan KIE dan pelayanan serta tindakan medis KB tercapai.
Pembiayaan dan kesiapan mental akseptor, misal takut dioperasi merupakan masalah MKJP. KB Berbasis Hak dari sisi tenaga ada dua yakni nakes dan PLKB artinya bahwa nakes dan PLKB memiliki tanggung jawab masing – masing terkait KIE dan pelayanan KB baik Pra pemasangan dan pasca pemasangan di Kab. Lahat tutur Tudiono. Untuk menekan dan menurunkan kematian ibu di Kab. Lahat semua OPD harus berkoordinasi dan bekerja sama karena kematian ibu bukan hanya tanggung jawab Dinas Kesehatan, Dinas Dalduk-KB dan RSUD melainkan tanggung jawab bersama. Salah satu caranya yakni melalui penjaringan dan penemuan WUS – PUS RISTI.
Pertemuan hari kedua pada 18 September 2018 membahas tentang pelayanan Bumil dan persalinan di faskes. Saat ini FK-KMK UGM telah membuat kerangka konsep kelompok penanganan diagnosa Bumil normal dan RISTI, kelompok diagnosa mana yang bisa ditangani di PKM PONED dan RSUD, namun semua kelompok diagnosa tersebut akan disesuikan dengan kemampuan/ standar yang kompetensi dan layanan kesehatan berlaku di daerah (Kab.Lahat). Ke depannya PKM PONED menjadi gatekeeper/penguat dalam penanganan kasus-kasus emergensi dasar kehamilan dan partus tutur Dwi Handono Sulistyo sebagai pengantar dalam sesi diskusi.
Diskusi menghasilkan beberapa poin penting terkait pengembangan alternatif solusi pada masalah-masalah yang teridentifkasi yakni:
Solusi PNC bermasalah: jadwal kunjungan nifas (KF) dan kunjungan neonatus (KN) akan dilakukan secara bersamaan tujuannya efisiensi waktu, PNC Bufas normal yakni 3 kali KF, namun jika Bufas RISTI PNC harus mendapatkan perlakuan khusus untuk KF yakni frekuensi KF – nya ditingkatkan lagi (> 3 Kali). Kemitraan bidan dan dukun (Perbup No.52 Tahun 2017). Pendampingan bumil oleh nakes, keluarga dan kader kesehatan. Jalin komunikasi yang baik melalui Call Center untuk memudahkan koordinasi dan komunikasi pasien, nakes dan faskes rujukan, Harus ada Call Center baik Bufas maupun nakes tujuannya untuk mempermudah komunikasi dan kontrol jika terjadi kegawatdaruratan; melengkapi alat-alat (bidan kit). Perlu pelatihan/refreshment ilmu dan pemberdayaan kader kesehatan. Advokasi ke stakeholder untuk penempatan atau pemerataan tenaga kesehatan. Ada insentif bagi bidan yang tinggal di daerah sulit dan punishment bagi yang ingkar penempatan dan pengaturan Bidan Penanggung Jawab Wilayah (Penjawil) dan pemberdayaan kader kesehatan; KF dilakukan oleh bidan desa; Perlunya sistem pemantauan dan monitoring evaluasi dari Dinas Kesehatan; KIE untuk kontrol pascasalin digiatkan terutama pasien di faskes swasta.
Solusi Rujukan BUFAS Bermasalah:
3T bukan hanya untuk bumil saja namun bufas juga perlu diterapkan 3T, terlambat mengambil keputusan tentunya akan berpengaruh dalam pertolongan yakni terlambat penanganan/pertolongan. Kelas bumil ditingkatkan; ambulance desa disiapkan dan pengaktifan kembali desa siaga; optimalisasi sosialisasi Jampersal dan JKN terkait cakupan pembiayaan secara kontinu.
Advokasi dan KIE ditingkatkan dengan menekankan bahaya bila bumil tidak dirujuk. Optimalisasi KIE buku KIA pada bumil dan keluarga; optimalisasi sosialisasi RTK sampai ke daerah pinggiran tujuannya meningkatkan utilisasi RTK oleh masyarakat. RTK bukan hanya untuk bumil persalinan juga untuk bufas; Membangun sistem rujukan lintas sektoral antara pemerintah desa, dinkes, Dalduk-KB dan RSUD melalui call center.
Solusi PONEK Bermasalah:
pelatihan dan peningkatan skill serta penambahan jumlah nakes yang bertugas difaskes PONEK; Komitmen nakes dan stakeholder terkait mutasi nakes bagi nakes terlatih; Penambahan sarana-prasarana dan Alkes untuk penunjang pelayanan PONEK; Unit penunjang seperti Bank Darah dan mengikat kerjasama dengan UTD RSUD dengan PMI.
Solusi Pelayanan PONED Bermasalah: Alokasi Anggaran oleh Pemda untuk peningkatan kapasitas dan skill, pembinaan dan pendampingan NAKES PONED oleh tim PONEK (dokter Obgyn); pembentukan Tim untuk mengaktifkan kembali 7 PKM PONED; kalibrasi, inventaris dan kelengkapan data-data Alkes; Komitmen NAKES dan stakeholder terkait mutasi NAKES bagi NAKES terlatih.
Solusi Rujukan dari PKM PONED ke RSUD PONEK Bermasalah:
Penekanan SOP dan punishment dari lembaga profesi (IBI) dan dinas kesehatan terkait nakes yang coba – coba melakukan tindakan di luar kewenangan dan skill-nya; Peningkatan kapasitas nakes tentang advokasi/ KIE kepada keluarga pasien; ketegasan SOP penggunaan ambulance; optimalisasi koordinasi call center antara pasien, PKM dan RSUD sangat penting untuk rujukan (pra rujukan-rujukan dan pasca rujukan) dan kontrol.
Solusi RTK Bermasalah:
optimalkan sosialisasi RTK ke masyarakat melalui tokoh masyarakat dan tokoh agama, penyuluhan melalui kelas bumil, leaflet ataupun spanduk; penambahan alokasi anggaran untuk ketersediaan RTK dan fasiltasnya.
Solusi Rujukan Terencana dan Emergensi Bermasalah:
Optimalisasi monev SOP oleh dinkes dan organisasi profesi; Peningkatan kapasitas nakes tentang advokasi/KIE kepada keluarga pasien melalui pendekatan nakes, tokoh masyarakat dan tokoh agama; Penekanan SOP ambulance; Advokasi ke Pemda agar masyarakat miskin di-cover oleh JKN-KIS; Membangun sistem rujukan lintas sektoral antara pemerintah desa, dinkes, Dalduk-KB dan RSUD melalui call center; Optimalisasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Optimalisasi desa siaga.
Solusi ANC BUMIL Normal dan RISTI Bermasalah:
Monev SOP ANC komprehensif dan terintegrasi (10T); optimalisasi KIE ANC; Pelatihan nakes tentang peningkatan kualitas dan kuantitas ANC; Pembentukan kemitraan ANC bumil Risti antara bidan dan dokter obsgyn; Subsidi biaya untuk kasus RISTI; Pelatihan dan pembinaan bidan agar mampu mengenali bumil RISTI; Optimalisasi penjaringan dan pemetaan bumil Risti oeh PLKB, bidan dan kader kesehatan.
Bumil Risti Tidak Diobati dan Tidak Ber – KB:
Pelatihan PLKB/PKB, PPKBD/Sub-PPKBD untuk meningkatkan pengetahuan terkait deteksi dan pengenalan Bumil RISTI; koordinasi dan kerja sama dengan program lain untuk penjaringan Bumil RISTI; Optimalisasi Advokasi/KIE KB pasca salin Bumil RISTI dan PUS RISTI; reward dan insentif serta punishment bagi nakes; optimalisasi penjaringan dan pemetaan PUS RISTI.
Gambar 3. DiskusiPengembangan Solusi Masalah Kematian Ibu dan Foto Bersama Tim Teknis Integrasi Kesehatan Ibu-Keluarga Berencana Berbasis Hak Kabupaten Lahat
Penyusuhan Rencana Aksi Daerah akan terus berlanjut. Alternatif solusi yang telah didiskusikan akan disinkronisasikan dengan Rencana Aksi Nasional Kesehatan Ibu dan Right Family Planning (RFP) oleh Tim Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM).
Reportase: Habibi Zamuli, MPH