Pengentasan health inequity masih terus menjadi sorotan dan agenda masyarakat dunia khususnya negara-negara yang tergolong kategori berpendapatan rendah dan sedang berkembang. Selain merupakan salah satu bentuk social determinant of health, alasan mendasar mengapa health inequity harus diselesaikan meliputi dua pertimbangan penting yaitu 1)setiap manusia memiliki hak asasi yang sama untuk hidup sehat; dan 2) kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan manusia sehingga mampu hidup secara layak dan berproduktif. Terjadinya health inequity erat kaitannya dengan proses pelayanan kesehatan yang tersedia bagi masyarakat. Kedudukan sektor kesehatan sebagai public goods telah mengerakkan pelayanan kesehatan pada proses transaksi pasar (market transaction). Beberapa kondisi ini apabila tidak diawasi secara baik maka dapat menjadi salah satu penyebab terganggunya proses pelayanan kesehatan dari provider (penyedia layanan) sehingga terjadi disparitas pada segmen (kelompok) masyarakat tertentu.
Sebagai “nahkoda” negara, kedudukan dan fungsi pemerintah yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk mengatasi persoalan health inequity masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Secara normatifd pemerintah harus bisa menjamin tidak terjadi inequity dalam status kesehatan. Peran sebagai regulator, beberapa langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah guna menjamin kualitas layanan dan kepuasan pasien adalah mengetahui apa yang dibutuhkan masyarkat terkait kesehatan khususnya masyarakat miskin yang selanjutnya kebutuhan tersebut ditindaklanjuti melalui pengaturan dan perumusan kebijakan pelayanan provider sebagai perpanjangan tangan pemerintah baik itu swasta atau yang dikelola secara langsung oleh pemerintah. Namun, dalam pelaksanaannya fungsi dan tanggung jawab pemerintah dihadapkan pada persoalan konsistensi dan keseriusan yang sangat mempengaruhi komitmen dan kemauan politis sehingga menjadi tantangan serius bagi efektivitas dan efisiensi pengentasan health inequity.
Kondisi tersebut melahirkan kegagalan pemerintah dalam menjadi “nahkoda” negara yang ditandai dengan dua kondisi yakni pertama pemerintah tidak bisa memenuhi atau tidak mendengarkan apa yang diminta masyarakat (voice) hal ini terjadi apabila pembuat kebijakan berada pada level administrasi yang tinggi sehingga tidak “dekat” dengan masyarakat. Kedua pembuatan kebijakan tidak mampu mengawal penyampaian aspirasi masyarakat ke provider pelayanan. Dengan adanya permasalahan tersebut maka peran tunggal yang dilakoni oleh pemerintah untuk saat ini bukan merupakan suatu jaminan untuk bisa menyelesaikan persoalan health inequity. Pemerintah perlu berpikir lebih realistis dengan melihat potensi sekitar yang bisa bersinergi.
Kirst et al (2017) menegaskan bahwa untuk mengatasi health inequity maka yang diperlukan bukanlah power tetapi lebih pada power dan sinergi pemerintah dan masyarakat. Kontribusi masyarakat terhadap pengentasan masalah inequity dapat diakomodir dengan mendengarkan opini publik terhadap upaya pengentasan inequity. Meskipun tidak secara langsung dapat meningkatkan akses, dan kualitas layanan kesehatan, opini publik merupakan bagian dari strategi menghilangkan inequity karena peran keberpihakan masyarakat sangat membantu pemerintah untuk merumuskan strategi yang bersifat komprehensif. Dengan mendengarkan dan mengakomodir opini masyarakat, pemerintah bisa merumuskan intervensi yang lebih potensial untuk mengatasi permasalahan health inequity. Opini publik yang dimaksud bukan semata-mata terbatas pada persepsi atau pendapat masyarakat tentang apa yang dibutuhkan tetapi lebih pada bagaimana pemerintah bisa merumuskan formulasi intervensi yang komprehensif. Simak artikel selengkapnya pada laman berikut.