Banyuwangi - Puskesmas Licin yang dilengkapi dengan layanan (Poli) jiwa dan rehabilitasi di Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, merawat hingga 1.247 orang per enam bulan terakhir. Dari jumlah tersebut, 80 persen merupakan laki-laki.
Sebagian besar mengalami gangguan skizofernia, kemudian epilepsi dan gangguan jiwa akibat penyalahgunaan obat.
Kepala Puskesmas Licin, dr Nira Ista Dewi menjelaskan, pasien yang masuk tidak hanya berasal dari Banyuwangi, namun juga dari Bali, Situbondo dan Jember. Puskesmas Licin memang dikenal memiliki fasilitas unggulan untuk menangani gangguan jiwa dan rehabilitasi.
“Tapi kalau di sini sudah tidak menampung akan diarahkan ke RS Jiwa Lawang, Malang,” kata Nira saat ditemui di kantornya, Selasa (14/8).
Jumlah pasien yang sebagian besar laki-laki, rata-rata berusia produktif antara 15-45 tahun. Dari 1.247 orang per enam bulan terakhir, rata-rata pasien menjalani rawat jalan. Terakhir, jumlah pasien rawat inap tinggal 11 orang.
“Yang baru pulang tiga, sebelumnya ada 14 orang. Per enam bulan ada 1.247, kebanyakan skizofernia dan epilepsi. Rata-rata usia produktif yang banyak. Laki-laki lebih tinggi sampai 80 persen daripada perempuan,” terangnya.
Sementara pasien dengan gangguan jiwa akibat penyalahgunaan obat-obatan seperti pil trex dan komix, rata-rata dirawat selama 2 minggu.
Puskesmas Licin memiliki 6 kamar isolasi, kemudian bangsal untuk laki-laki dan perempuan berjumlah 15 ruang untuk rawat jalan. “Kapasitas ada 21 ruang, dibagi tiga sama isolasi,” kata dia.
Nira menyebut, sejauh ini pihaknya belum merasa kekurangan fasilitas tambahan ruangan inap dan perawatan. Begitu juga dengan tersedianya tenaga kesehatan yang masih bisa mengatasi. Puskesmas Licin memiliki 2 psikolog, 2 dokter umum dan 1 dokter jiwa dari RSUD Blambangan sebagai konsultan.
“Kalau perawat di jiwa ada 6, pendamping ada 6 orang juga,” terangnya.
Nira sendiri menyebut mengapa laki-laki mendominasi jumlah pasien gangguan kejiwaan. Dari berbagai peristiwa yang melatar-belakangi pasien mengalami gangguan kejiwaan, kata Nira, perempuan lebih siap secara mental sejak dini untuk menghadapi berbagai persoalan biologis.
Dia mencontohkan, sejak dini perempuan sudah merasakan menstruasi, berlangsung hingga usia menopause. Belum lagi mengetahui harus menyiapkan mental untuk melahirkan. Berbeda dengan laki-laki yang cukup menghadapi dikhitan secara budaya.
“Itu karena ya wanita lebih siap secara mental mulai saat menghadapi menstruasi, hamil, ngurus anak. Tapi di sini ada juga yang gangguan jiwa karena hamil dan melahirkan,” jelasnya.
Namun, lepas dari alasan biologis antara perempuan dan laki-laki, faktor ekonomi, tekanan psikologis dari lingkungan juga menjadi faktor lain yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan kejiwaan.
Psikolog Puskesmas Licin, Yuliana menambahkan, kasus kejiwaan skizofernia yang sebagian besar dialami pasien di Puskesmas Licin memiliki detail latar belakang persoalan beragam.
“Banyak faktor yang melatar belakangi, bisa pengaruh pendidikan, ekonomi, pribadi rentan seperti keinginan orang tua besar, kalau anak tidak bisa mengimbangi bisa stres,” ujarnya.
“Skizofernia merupakan kepribadian yang terpecah belah. Dia bisa merasakan halusinasi, waham dan paranoid. Solusinya harus perbanyak refreshing,” tambahnya.
Sementara halusinasi yang dirasakan pasien bisa secara visual dan audio. Kemudian mengalami waham, berupa keyakinan yang tidak bisa dirubah.
“Waham keyakinan kekeh enggak bisa dirubah, misalkan keyakinan ada yang ngejar saya setiap hari,” katanya. (ES/MUA)
Sumber: merdeka.com