Reportase Seminar Nasional
Peran Dinas Kesehatan Dalam Sistem Kesehatan yang “Terfragmentasi” di Era JKN
Reporter: Ucha Cintyamena
Seminar peran dinas kesehatan dalam system kesehatan yang terfragmentasi di era JKN dilaksanakan pada Senin, 12 Maret 2018 pukul 10.00-12.00 Wib di ruang Theater Perpustakaan UGM. Kegiatan ini dimoderatori oleh dosen FKKMK UGM yang sekaligus konsultan PKMK yaitu Dr. dr. Dwi Handono S, M.Kes.
Pembukaan oleh Prof. Laksono Triasnantoro, MSc, Ph.D
Fragmentasi sistem kesehatan pada Era JKN merupakan suatu pengkotakkan fungsi tata pelayanan kesehatan yang “didaerahkan” atau “dipusatkan”. Untuk tata layanan kesehatan yang berupa sistem kesehatan fungsinya merupakan suatu yang didaerahkan, sedangkan untuk sistem jaminan kesehatan fungsinya berupa fungsi terpusat. Kedua lembaga ini, Kementrian Kesehatan yang mengatur sistem kesehatan dan BPJS yang mengatur jaminan kesehatan menyasar hal yang sama, yaitu kesehatan pada masyarakat. Namun adanya fragmentasi menyebabkan ketidakcocokan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan terkait keterbatasan penggunaan data yang ada. Data pada kedua lembaga tersebut hanya tersinkronisasi pada level pusat, sedangkan pada level kabupaten/ provinsi tidak ada.
Adanya fragmentasi menyebabkan dibutuhkannya penguatan sistem karena: 1) tidak ada semacam analisis data di tingkat daerah ataupun kecamatan, hanya BERfoKus di BPJS dan ini sifatnya sentralistik, 2) Ada inpres yang mewajibkan BPJS melakukan share data tapi hanya di tingkat pusat padahal seharusnya agar bisa digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan di daerah sesuai kondisi kesehatan masyarakat daerah.
Lalu bagaimana peran dinas kesehatan seharusnya menjadi pertanyaan penting dalam keadaan yang terjadi. Saat ini dinas kesehatan lebih berperan sebagai kontraktor dalam sistem purchasing sedangkan fungsi regulasi dan pengawasannya terpinggirkan. Dalam principle agent relationship, BPJS merupakan “purchaser”, berhubungan dengan masyarakat sebagai agen warga negara, dan berhubungan dengan pemberi pelayanan sebagai principal, serta berperan sebagai agen yang ditunjuk pemerintah. Pemerintah seharusnya menjalankan peran sebagai “steward” di samping perannya dalam memberikan pendanaan, pelayanan kesehatan, dan arah kebijakan.
Apabila fragmentasi ini terus berlanjut maka akan berisiko terhadap munculnya masalah dalam pengelolaan penyakit, dalam menyusun sistem rujukan, dan pembiayaan JKN dimana BPJS akan defisit.
Paparan 1 – dr. Untung Suseno S., M.Kes (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia)
Setuju bahwa saat ini peran dinas kesehatan dalam era JKN lebih ke pengawas. Kondisi dinas kesehatan masih sangat bervariasi terkait perannya sebagai steward, ada yang kuat namun banyak juga yang masih lemah. Apalagi jika menyangkut jumlah SDM dalam peranannya menjalankan program dan peran pengawasan. Seharusnya fungsi program lebih baik jika dipegang oleh puskesmas.
Peranan dinas kesehatan dalam era JKN telah mempunyai dasar hukumnya. Perubahan dasar hukum telah beberapa kali terjadi dan disitu juga telah dijelaskan peranan dinkes terhadap BPJS. Arah kebijakan Kemenkes terhadap dinas kesehatan seharusnya memang seperti yang sebelumnya telah dijelaskan oleh Prof. Laksono, akan tetapi yang memegang uang adalah BPJS. Sehingga BPJS sebagai instansi yang memegang uang akan lebih menentukan arah kebijakan. Namun sebagai regulator juga tetap mengawal prosesnya.
Tanggapan dari Prof. Laksono: Kemenkes telah memiliki gambaran yang jelas bahwa perlu peran yang kuat di dinas kesehatan, tetapi Pemda masih belum.
Paparan 2 – dr. H. Dodo Suhendar, MM (Dinas Kesehatan Jawa Barat)
Regulasi yang telah ada (UU Kesehatan 2009 tentang sistem kesehatan nasional, Perpres 72 tahun 2012 tentang JKN) harus disesuaikan terlebih dahulu sehingga tidak tumpeng tindih, yang dalam tatanan kelembagaan ada yang merasa lebih kuat. Peran dinkes yang seharusnya menjadi regulator malah menjadi kontraktor, sedangkan BPJS yang seharusnya menjadi “purchaser” malah bergeser menjadi regulator.
Dari segi manajemen dibutuhkan peningkatan upaya kesehatan, dimana dibutuhkan kesepakatan BPJS dan dinkes tentang kondisi kesehatan saat ini adalah manifestasi masa lalu. Fokus yang harus dilaksanakan adalah upaya preventif dan promotif kesehatan. Karena bagaimanapun dana akan terus berkurang karena kondisi memburuk. Hal yang harus dilakukan ke depan adalah penguatan SDM, pelayanan kesehatan, dan pengurangan rujukan. Upaya peningkatan upaya kesehatan juga membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
Tanggapan dari Prof. Laksono: Jawa Barat masih belum menggunakan data BPJS dalam perencanaan. Sebelumnya telah disampaikan hal tersebut merupakan observasi/ fragmentasi, tetapi masih perlu dilakukan verifikasi lanjutan.
Paparan 3 – Dra. Hj. Mimi Yuliani Nazir, Apt.,MM (Dinas Kesehatan Provinsi Riau)
Hal yang diharapkan dari dinkes adalah sebagai perumus, pengawas, dan regulator. Terkait sinergi yang terjadi di pusat dan daerah sebagaimana dengan BPJS, di provinsi Riau tidak ada data laporan rutin bulanan. Data bisa diperoleh jika dinkes meminta secara resmi ke BPJS, misalnya data 10 penyakit terbesar. Peraturan yang dikeluarkan BPJS sebagai lembaga yang memiliki anggaran, mau tidak mau harus dipenuhi oleh dinkes. Harapannya akan ada peraturan yang bisa memberikan peranan yang kuat kepada dinkes provinsi dan kabupaten/kota, sehingga tidak hanya menjadi “kontraktor”.
Provinsi Riau sudah menggunakan InaCBG dengan sistem klaster. Jika ada kelebihan pembayaran yang terjadi di rumah sakit maka tidak ditanggungkan ke masyarakat tetapi ditanggung oleh pemerintah daerah.
Selain dana PBI APBN, dana yang masyarakat miskin di Provinsi Riau juga didapat melalui budget sharing provinsi dan kabupaten dengan rasio 30:70 atau 40:60 tergantung dengan kondisi keuangan masing-masing. Dana yang bisa dikeluarkan pemerintah provinsi adalah sekitar 80 M, di luar Jamkesda. Namun masih belum ada data jumlah yang pemerintah bayarkan apakah melebihi klaim atau tidak.
Tanggapan dari Prof. Laksono: yang menjadi isu adalah berapa banyak uang BPJS yang didapat dari provinsi. Riau dan berapa rupiah dana yang dikeluarkan BPJS untuk provinsi Riau, apakah rugi atau tidak.
Paparan 4 – dr. Joko Mardianto, M.Kes (perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah)
Peran dinas kesehatan seharusnya adalah sebagai regulator dan harus mengikuti Perpres 12 tahun 2012. Peranan ini masih harus ditingkatkan mengingat masih banyak kewenangan yang belum digunakan dalam pengelolaan kesehatan. Di Jawa Tengah, perencanaan yang dilakukan masih belum menggunakan data BPJS, dimana sebagian besar menggunakan data-data program. Karena data yang tidak ada tersebut, dinkes juga masih belum menganalisis sistem rujukan yang ada apakah telah berjalan baik atau belum. Perbaikan Inpres No. 6 Tahun 2011, seharusnya bisa menguatkan data-data yang ada di BPJS untuk disinkronkan dengan data di tingkat kabupaten/kota maupun di provinsi.
Seperti halnya di provinsi Riau, di Jawa Tengah upaya preventif promotif telah banyak dilakukan tetapi masih terkendala di era JKN ini terkait pembiayaan; misalnya sudah dianggarkan di UKM tetapi bagaimana jika sampai dirawat di RS.
Tanggapan dari Prof. Laksono: data BPJS dan data program masih tercampur. Padahal BPJS memiliki rincian data yang rinci. Berdasarkan Impres 2017 seharusnya daerah bertanggung jawab, tetapi bagaimana bisa bertanggung jawab jika datanya masih belum dibuka.
Paparan 5 – dr. Bambang Haryatno, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo)
Peran dinkes di Era JKN, khususnya fungsi regulator yang menjadi isu kunci cukup terabaikan, dimana banyak peraturan yang harus dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota. Peraturan yang ada sebenarnya bisa dikritisi dan dibatalkan. Contohnya peraturan BPJS No 2 Tahun 2014 tentang kapitasi yang dikaitkan dengan kapasitas SDM diganti dengan Perpen No 3 Tahun 2014.
Di kabupaten Kulon Progo, dinas kesehatan telah melakukan banyak sinergi dengan BPJS, khususnya terkait kapitasi. Beberapa daerah banyak yang terjebak dengan PP 32 Tahun 2014 yang dilandasi dengan Permenkes 14 Tahun 2014 terkait dengan penggunaan dana kapitasi. Banyak yang berlomba-lomba menggunakan dana kapitasi untuk pelayanan kesehatan.
Terkait data, domain kepesertaan yang digunakan untuk data BPJS bukan dari data kesehatan melainkan dari data dinas sosial. Selain itu data BPJS pusat masih menggunakan baseline 2010. Isu lain yang muncul adalah contact rate dan ID rate. Harapannya dalam penyusunan peraturan menyangkut dengan BPJS dan kolaborasi dengan kesehatan, diharapkan dinkes yang di daerah turut dilibatkan. Selain itu perananan dinas kesehatan dikuatkan lagi.
Tanggapan dari Prof. Laksono: ternyata di daerah juga ada tanggapan bahwa BPJS merupakan sistem tersendiri.
Kesimpulan:
- Kepala Dinas Kesehatan yang hadir dalam seminar ini sepakat bahwa perlu adanya penguatan bagi Dinas Kesehatan dalam melakukan perannya sebagai regulator.
- Perlu kebijakan baru dari pemerintah berdasarkan penelitian yang dilakukan di lingkup pemerintahan.
- Perlunya lobi dari kepala Dinas Kesehatan dan asosiasi Dinas Kesehatan pada BPJS untuk melakukan transparansi, baik data penyakit maupun data keuangan.
- BPJS perlu mengakui bahwa Dinas Kesehatan memiliki kewenangan untuk pelayanan kesehatan di daerah.