Kenya menghadapi tantangan tentang kekurangan tenaga kesehatan dan retensi tenaga kesehatan rendah serta kesulitan dalam mencapai pemerataan sumber daya manusia kesehatan khususnya di daerah yang sulit dijangkau. Kementerian kesehatan Kenya mengidentifikasi bahwa ada 1,5 petugas kesehatan per 1.000 penduduk di Kenya, sedangkan batas minimum untuk mencapai cakupan minimum yang telah ditentukan oleh WHO adalah 2,3 petugas kesehatan per 1.000 penduduk, sehingga terjadi kekosongan sebesar 29 persen. Kebijakan pemberian insentif terhadap penyedia layanan kesehatan untuk daerah pedesaan dan terpencil, agar dapat bertahan pada daerah tersebut. Penelitian ini menggunakan metode mix method dengan penggunaan 3 metode pengumpulan data langsung terhadap 404 responden yang terdiri dari 98 dari Turkana, 135 dari Machakos dan 171 dari Kibera, melalui kuisioner tertutup dan kemudian dikonfirmasi melalui wawancara langsung. Setelah data tersebut terkumpul, selanjutnya diskusi kelompok terarah staf dilakukan terpisah antara staf pendukung dan staf operasional layanan. Tujuan penelitian untuk menginvestigasi faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi dan retensi dari petugas fasilitas kesehatan tingkat pertama di tiga daerah yang berbeda, Turkana, Machakos dan Kibera.
Turkana adalah tempat yang terpencil dan sulit dijangkau (remote area). Turkana memiliki keterbatasan akses listrik, peralatan dan transportasi, selanjutnya perumahan yang kurang memadai, pembayaran pegawai pendukung yang tidak cukup dan kondisi fisik fasilitas kesehatan dapat menurunkan motivasi dan retensi tenaga kesehatan. Turkana memiliki jumlah proporsi tenaga kesehatan untuk perawat dan tenaga klinis paling sedikit. Tenaga kesehatan di Turkana memiliki proporsi tertinggi untuk beban kerja yang tak terkendali. Ketersediaan pelatihan yang mendukung pekerjaan masih menjadi masalah di tempat ini. Turkana memiliki angka yang signifikan untuk faktor yang berhubungan alasan untuk berpindah tempat kerja baik distrik maupunn mengambil pekerjaan di luar fasilitas kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi geografis dan iklim yang ekstrem. Selanjutnya karena mayoritas petugas kesehatan di Turkana adalah laki-laki, mereka menuntut adanya paternity leave (cuti tahunan untuk seorang ayah). Turkana juga memiliki sejumlah isu budaya yang menjadi penghalang yaitu wanita tidak diperbolehkan dikunjungi perawat pria, wanita didorong untuk melahirkan dalam posisi berdiri, dan setelah melahirkan, ibu tidak diperbolehkan menyusui pada malam hari.
Machakos adalah tempat yang mudah diakses dan menjadi daerah yang paling diminati oleh tenaga kesehatan. Hasil temuan menunjukkan bahwa Machakos memiliki jumlah proporsi tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan primer terbanyak yaitu untuk perawat (yang terdaftar) dan tenaga klinis. Hanya 5,9 persen dari partisipan di Machakos setuju bahwa gaji yang diterima sudah setimpal dengan pekerjaan. Partisipan dari Machakos menyebutkan bahwa jika terdapat alasan untuk berhenti maka alasan yang tepat adalah tidak adanya tunjangan komputer, Tingginya beban kerja dan birokrasi pemerintahan. Retensi yang diharapkan untuk dapat membuat pegawai kesehatan bertahan di Machakos, terdiri dari gaji yang lebih baik, on the job training, dan juga pemenuhan tenaga kesehatan. Sedangkan Machakos memiliki isu budaya yaitu masih percaya terhadap adanya ilmu sihir dan menggunakan ramuan dan mantra untuk penyakit tertentu. Pegawai muda kesulitan dalam mengawasi pemegang program yang lebih tua.
Kibera merupakan wilayah permukiman kota yang kurang menguntungkan. Pekerja pada daerah ini mayoritas terdiri dari wanita. Kibera memiliki isu diskriminasi dalam pelatihan, komunikasi yang buruk maupun kolusi karena suku dan juga terdapat persaingan antara petugas kesehatan. Retensi pegawai di Kibera dapat ditingkatkan melalui peningkatan tunjangan (medis, perumahan, lembur dan uang cuti) serta adanya peningkatan waktu cuti untuk ibu hamil. Kibera memiliki isu budaya tentang pria harus mengontrol keluarga berencana, terutama masalah kesehatan reproduksi sehingga kadang kala merugikan wanita. Kibera berhadapan dengan masalah manajemen organisasi yaitu garis pelaporan dan supervisi yang berganda menjadi kesulitan dalam koordinasi pekerjaan. Sejumlah partisipan menyatakan bahwa adanya ketersediaan pelatihan yang mendukung pekerjaan mereka.
Kesimpulan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk Indonesia adalah sama-sama memiliki kelompok daerah yaitu daerah yang mudah akses, kurang menguntungkan dan sulit dijangkau, sehingga mengakibatkan perbedaan masalah retensi dan motivasi petugas bergantung pada karakteristik wilayah. Untuk mempersempit kesenjangan retensi, maka perlu adanya pengembangan paket kompensasi untuk daerah sulit dijangkau dan kurang menguntungkan. Pengembangan kompensasi harus dinamis sesuai dengan kebutuhan pekerja pada masing-masing daerah. Kompensasi yang diberikan tidak hanya memperhatikan faktor pekerja saja, tetapi juga mempertimbangkan faktor keluarga dari pekerja seperti perawatan kesehatan keluarga dan juga sarana pendukung daerah tersebut. Selengkapnya