Berbagai literatur di negara berkembang telah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi tenaga kesehatan untuk bekerja di tempat tertentu, antara lain: remunerasi, peluang peningkatan karir, kelengkapan fasilitas, akses untuk kehidupan yang mudah (ketersediaan sekolah untuk anak, pekerjaan untuk pasangan, infrastruktur jalan) dan akomodasi. Namun demikian, hanya sedikit artikel yang membahas bagaimana pengaruh dari ‘governance’ atau sistem pemerintahan terhadap distribusi tenaga kesehatan. Artikel ini bertujuan menggali kebijakan dan proses secara formal maupun informal yang mendukung praktek “Posting and Transfer” pada tingkat distrik.
Penelitian yang dilakukan di Ghana ini mengambil lokasi salah satu wilayah di ibukota, The Great Accra Region yang merupakan salah satu kota terpadat, sehingga dapat menjadi tujuan atau pilihan yang sangat menguntungkan untuk tenaga kesehatan sendiri. Penelitian ini membandingkan retensi tenaga kesehatan di tempat kerja di 2 distrik (di Indonesia, setara kecamatan), dimana distrik A dipandang sangat menguntungkan karena merupakan wilayah pedesaan dan kota kecil, sedangkan distrik B dipandang sebagai kota yang dihindari karena memiliki wilayah terluas dengan 167 komunitas yang tersebar. Ghana mengimplementasikan sistem posting and transfer bertujuan untuk pemerataan tenaga kesehatan di di semua tempat layanan kesehatan.
Ghana memiliki Ghana Health Service (GHS) yang berada di bawah Ministry of Health (MoH) di tingkat pusat yang berfungsi sebagai badan pengelola pelayanan kesehatan publik. Kelembagaan GHS bersifat terdesentralisasi di tingkat nasional, regional, kabupaten dan sub-kabupaten. MoH berwenang dan bertanggung jawab pada perencanaan kesehatan, administrasi dan pengembangan tenaga kerja di seluruh agensi yang berbeda. GHS memiliki divisi sumber daya manusia yang bertanggung jawab untuk pelatihan, perencanaan dan pengelolaan tenaga kerja layanan kesehatan pada sektor publik yang dikelolanya.
Kebijakan posting dan transfer ini bertujuan untuk penyebaran tenaga kesehatan yang setara, sesuai dengan perencanaan dan kebutuhan setiap kabupaten. Kebijakan tersebut masih menyisakan persoalan tentang sistem insentif yang tidak membedakan antara pedesaan dan perkotaan sehingga memberi kontribusi terhadap ketidakmerataan staf. Kebijakan ini juga menerapkan prinsip “melatih dan mempertahankan” yang berarti bahwa lulusan baru dari institusi pelatihan MoH, bersedia untuk kembali ke tempat dimana mereka dilatih.
Namun masih terdapat kelemahan dalam kebijakan ini, yaitu tidak adanya perbedaan insentif antara kota dan desa yang mengakibatkan ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan. Lebih jauh dari kebijakan ini yaitu adanya mekanisme lobi informal terhadap pengambil keputusan yang dikenal dengan “Who You Know” pada berbagai tingkat dan juga sifat hierarki sistem kesehatan yang menjadi isu lain. Tenaga kesehatan merasa harusnya ada informasi mengenai studi kelayakan maupun alasan mengapa mereka harus dipindahkan, sehingga mereka tidak memiliki pemahaman yang sama antara manajer dan staf pada berbagai tingkat. Fakta yang muncul dari kebijakan ini adalah kebanyakan staf merasa tidak berdaya untuk menolak penempatan dan jika ada yang berani, alasan utamanya adalah sudah memiliki kenalan yang mampu mengganti penempatan (Kwamie et al, 2017).