Secara sederhana, mutu pelayanan dapat diartikan perbedaan antara pelayanan yang diterima secara nyata dengan harapan klien atau konsumen. Dalam pelayanan kesehatan, terdapat jenis-jenis pelayanan yang sama yang disediakan oleh berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi kualitas pelayanannya belum tentu merata satu dengan yang lainnya. Dalam sistem kesehatan pasien adalah pelanggan sehingga menjadi bagian yang sangat penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Dari sudut padang provider pelayanan kesehatan, pasien dapat diasumsikan sebagai konsumen yang memiliki ekspektasi akan pemenuhan kebutuhan akan kesembuhan ketika jatuh sakit. Menjamin kepuasan pasien adalah prioritas utama yang ditetapkan oleh berbagai provider kesehatan. Seiring berjalannya waktu, kepuasan pasien terkadang terbentur pada implementasi perbaikan mutu pelayanan yang seyogyanya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap internalisasi peningkatan mutu dalam provider layanan kesehatan.
Penyebab mutu pelayanan yang rendah diantaranya faktor proses implementasi strategi peningkatan kualitas layanan. Adopsi strategi perbaikan mutu merupakan salah satu alasan terhambatnya peningkatan mutu pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan. Penerapan perbaikan mutu yang bersifat Top-Down sulit dilakukan karena tidak didukung oleh pendekatan bottom-up yang komprehensif. Keseimbangan antara top-down dan bottom up menjadi tidak sinkron saat provider hanya mampu menerapkan adopsi strategi perbaikan mutu secara marjinal. Perbaikan yang bersifat marjinal adalah suatu kondisi yang terjadi ketika provider tidak mampu menerapkan perbaikan mutu secara holistik yang mencakup aspek input seperti sumber daya dan infrastruktur; proses berupa desain layanan, kolaborasi perencanaan dan pengambilan kebijakan bersama dan adopsi perbaikan mutu serta; output layanan yang tersedia.
Untuk perbaikan yang lebih komprehensif maka diperlukan strategi kolaboratif antara manajemen organisasi atau provider dan tenaga kesehatan. Strategi kolaboratif tersebut mengakomodir gerakan yang bersifat bottom up dan top down. Untuk mewujudkan strategi kolaboratif dapat dilakukan dengan mengadopsi model social movement yang sering digunakan dalam bidang pengembangan sosial. Model tersebut memberikan ruang bagi keterlibatan semua aktor pada berbagai level guna mewujudkan tujuan dan perubahan yang diharapkan. Dengan menerapkan model tersebut, manajer dapat secara implementatif melibatkan peran serta tenaga kesehatan untuk mencegah hambatan internal serta menjamin partisipasi yang lebih besar dalam sebuah pergerakan menuju perbaikan kualitas layanan. Model ini memiliki beberapa tahapan penting yaitu : 1) Kerangka aksi kolektif, dimana seorang manajer harus bisa menampung aspirasi setiap tenaga kesehatan untuk mengetahui kebutuhan dan kemauan untuk berubah; 2) mobilisasi, manajer diharapkan memfasilitasi, mengarahkan dan melibatkan tenaga kesehatan dalam proses perumusan kebijakan perbaikan mutu serta; 3) sustaining dan mainstreaming, pada tahapan ini perlu dilakukan penguatan terhadap regulasi yang sudah ada untuk menjamin keberlanjutan peningkatan kualitas. Simak artikel selengkapnya