Reportase Sesi 1
Apakah Sistem Insentif untuk Petugas Kesehatan di Pelayanan Primer telah Sesuai dengan Kinerja : Hasil Riset Implementasi JKN di 5 Kabupaten/Kota di Indonesia
Menurut definisi dari kamus besar bahasa Indonesia, insentif adalah “tambahan penghasilan (uang, barang, dan sebagainya) yang diberikan untuk meningkatkan gairah kerja atau uang perangsang. Tahun 2014, sejak adanya JKN, ada sumber pembiayaan baru di Puskesmas dari BPJS Kesehatan yang disalurkan dalam bentuk dana kapitasi, non-kapitasi serta Prolanis. Dari BPJS Kesehatan ke fasilitas, pengaliran dana kapitasi dan non-kapitasi ditentukan sesuai Permenkes 52/2016, khususnya untuk dana kapitasi berdasarkan indikator kapitasi berbasis komitmen pelayanan (KBKP) yaitu angka kontak, rasio rujukan non spesialistik dan proporsi kunjungan Prolanis. Sedangkan distribusi dana tersebut untuk jasa petugas kesehatan berdasarkan Permenkes 21/2016 (untuk dana kapitasi) dan peraturan daerah masing-masing (untuk dana non kapitasi). Adanya tambahan dana ini seharusnya dapat meningkatkan ketersediaan sumber daya di fasilitas kesehatan sehingga pelayanan keseatan pada masyarakat juga meningkat. Namun demikian, hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya dana kapitasi belum berpengaruh pada kinerja petugas kesehatan, yang antara lain disebabkan oleh belum dioptimalkannya fungsi dana kapitasi sebagai insentif. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi sumber-sumber insentif potensial untuk memotivasi petugas kesehatan mencapai target program kesehatan yang diinginkan. Untuk itu, pertama-tama kita akan melihat bagaimana struktur pendapatan dari tenaga di Puskesmas, kemudian melihat apakah pada masing-masing sumber pendapatan tersebut terdapat sistem pembagian yang berdasarkan kinerja.
Sumber-sumber pendapatan tenaga kesehatan yang bervariasi antar daerah.
Seratus lima puluh tiga petugas kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, bidan dan tenaga administrasi di Puskesmas di Tapanuli Selatan, Jakarta Timur, Jember, Kota Jayapura dan Jayawijaya mengisi survey mengenai sumber-sumber pendapatan mereka dalam 1 bulan terakhir. Dari penelitian ini tampak adanya ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota, dengan potensi sumber pendanaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh di Jakarta Timur lebih dari 70% pendapatan dokter, perawat dan bidan bersumber dari Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Sementara itu untuk kota Jayapura, sebagian besar pendapatan dokter berasal dari dana kapitasi. Untuk Kabupaten Jember dan Tapanuli Selatan, pendapatan dari praktek swasta mencapai 40% dari total pendapatan per bulannya. Variasi ini dipengaruhi oleh berbagai hal. Tunjangan kinerja daerah dipengaruhi oleh kemampuan keuangan masing-masing kabupaten/kota serta skala prioritas. DKI Jakarta mampu untuk memberikan tunjangan daerah bagi dokter dengan nominal paling sedikit Rp20juta per bulan, sementara di Tapanuli Selatan jumlah maksimal yang bisa diterima oleh dokter adalah Rp2 juta per bulannya. DKI Jakarta memiliki APBD yang sangat besar sehingga dapat mengalokasikan hal tersebut sebagai tunjangan kepada petugas dengan nominal yang relatif besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal lain yang menyebabkan adanya variasi ini adalah ketersediaan dokter/dokter gigi di FKTP, jumlah seluruh tenaga di Puskesmas, dan jumlah peserta yang terdaftar dalam satu fasilitas.
Sumber pendapatan mana saja yang dianggap sebagai insentif?
Ilustrasi di atas memperlihatkan bagaimana persepsi petugas di Puskesmas mengenai indikator kinerja yang baik (gambar kiri) serta bagaimana pemberian insentif selama ini diberikan (gambar kanan). Menurut responden, tiga hal yang menjadi indikator utama penilaian kinerja, yaitu terpenuhinya tupoksi, pelayanan kepada pasien dan pencapaian target. Sementara itu selama ini pemberian insentif tidak berdasarkan indikator kinerja yang disebutkan sebelumnya, melainkan pada kehadiran, pendidikan dan kegiatan. Bagaimana dengan gambaran sistem insentif untuk masing-masing sumber pendapatan?
Kapitasi
Pembagian jasa pelayanan kapitasi, yang seharusnya berpotensi sebagai sumber insentif, dibagikan kepada petugas berdasarkan pada jenis ketenagaan atau jabatan dan kehadiran. Menurut permenkes 21/2016, penanggung jawab program diberikan 10 poin tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tugas tersebut, namun demikian perbedaannya dirasa tidak terlalu signifikan. Kapitasi telah dimanfaatkan sebagai ‘perangsang’ oleh beberapa Puskesmas di Tapanuli Selatan dan Kota Jayapura dengan memberikan poin lebih banyak pada petugas yang memang memiliki beban penanggung jawab program ganda. Kapitasi juga dimanfaatkan untuk memberikan uang transportasi bagi kegiatan luar gedung oleh beberapa Puskesmas, terutama apabila dana di BOK sebagai sumber utama kegiatan luar gedung sudah habis. Dilihat dari apa yang telah dilakukan di kabupaten/kota, maka kapitasi memang telah dimanfaatkan untuk memberi insentif pada penanggung jawab program, tetapi pemberiannya belum berdasarkan capaian kinerjanya.
Tunjangan daerah
Bagaimana dengan tunjangan daerah? Proporsi tertinggi untuk penilaian kinerja di keempat kabupaten/kota yang telah memberikan tunjangan kinerja daerah yaitu untuk kehadiran. Di DKI Jakarta memasukkan indikator serapan anggaran dan perilaku yang total merupakan 30% dari bobot tunjangan keseluruhan. Sementara itu, di Kota Jayapura dan Jayawijaya penerapan pembayaran berdasarkan kehadiran belum terlaksana secara optimal karena adanya pemutihan sehingga prosentase kehadiran tidak berdampak pada tunjangan daerah yang diterima.
Non-kapitasi
Dana non-kapitasi, yang seharusnya bisa memotivasi petugas untuk melaksanakan tindakan tertentu, misalnya: pemeriksaan kehamilan, persalinan normal, tindakan KB, IVA, dan pap smear. Namun hal itu tidak terjadi karena beberapa hal. Pertama, tidak banyak petugas yang menerima atau merasa menerima pendapatan dari dana non-kapitasi. Dari 22 dokter, 51 bidan dan 55 perawat, berturut-turut hanya 2, 6 dan 4 petugas saja yang pernah menerima dana non-kapitasi, dengan nominal Rp181ribu – Rp1,176ribu per petugas per bulan. Bisa saja banyak petugas yang tidak mengetahui bahwa dana yang diterimanya berasal dari non-kapitasi (biasanya pembayaran dijadikan satu dengan dana kapitasi), ataupun karena keterlambatan pembayaran yang mencapai 11 bulan pasca tindakan dilakukan.
Dana transport dari BOK
Pengganti uang transportasi bersumber BOK diberikan pada petugas yang turun ke lapangan atau melakukan kegiatan luar gedung. Nominal telah ditetapkan sesuai dengan peraturan daerah masing-masing yang berlaku. Sebagian petugas menganggap dana BOK ini insentif karena “pemberiannya berbeda bagi yang rajin melakukan kegiatan dengan yang malas”. Sedangkan sebagian lagi menganggap bahwa dana transportasi ini sekedar pengganti ongkos transportasi yang memang dikeluarkan oleh petugas yang turun ke lapangan.
Dari semua sumber tersebut, apa yang menjadi insentif? Kapitasi telah memberikan insentif lebih bagi beban kerja tambahan penanggung jawab program dan dibayarkan tepat waktu, tetapi belum berdasarkan kinerja yang dilakukan. Sedangkan dana non-kapitasi dibayarkan sesuai dengan kinerja petugas dalam memberikan pelayanan tindakan terkait non-kapitasi, tetapi pembayarannya sangat lambat dan tidak banyak petugas mengetahui mengenai pembayaran non-kapitasi tersebut, baik keberadaan pendapatan dari non-kapitasi maupun cara penghitungannya. Dana transport dari BOK yang sebetulnya hanya dialokasikan untuk mengganti transportasi saat kegiatan luar gedung justru dianggap sebagai insentif oleh petugas.
Diskusi
Kepala Badan PPSDM Kemenkes RI, drg. Usman Sumantri, MSc, mengangkat isu mengenai adanya dual practice yang sesungguhnya permasalahan yang dihadapi oleh ‘user’ dari tenaga kesehatan. “Produksi tenaga dokter itu 11,000 per tahun, kalau pemerintah tidak sanggup menampung semua pegawa itu jadi pemerintah harus membuka peluang di swasta”, ungkap Usman. Dual practice ini seharusnya bisa dikelola lebih baik lagi dengan meratakan kepesertaan antara fasilitas Puskesmas dan swasta. “Lebih dari 20,000 FKTP yang sudah dikontrak BPJS Kesehatan, ada 9,774 Puskesmas yang dikontrak dengan 82.6% peserta terdaftar di Puskesmas”, lanjut Usman. Hal ini menimbulkan adanya ketimpangan dari aspek ‘demand’ terhadap tenaga kesehatan antara sektor pemerintah dan swasta. Pemerintah perlu mengambil tindak lanjut mengenai ‘pemanfaatan’ dari tenaga kesehatan ini. Regulasi tentang standar insentif tenaga kesehatan perlu diatur, terutama di sektor swasta.
Mengenai standarisasi insentif tenaga kesehatan, Laode dari Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer Kemenkes menyatakan bahwa perlu dipertimbangkan lagi apakah bisa diterapkan untuk seluruh wilayah RI ataukah perlu ada penyesuaian untuk daerah tertentu. Mengenai pentingnya insentif berupa sarana dan prasarana, sebetulnya dari dana kapitasi dapat dialokasikan sesuai keperluan fasilitas. Namun demikian semua tergantung pada kepala Puskesmas sebagai pengelola.
Staf ahli Menkes bidang Ekonomi Kesehatan, dr. Donald Pardede, MPPM, menggarisbawahi penyebab dari kurang tersalurnya insentif itu karena ada nya permasalahan dengan tatakelola administratif. Sebagai contoh untuk pemanfaatan dana non-kapitasi masih banyak bupati atau walikota yang belum menerbitkan peraturan khusus untuk mengatur permasalahan tersebut. Di samping itu, dana kapitasi serta sisa pemanfaatan dana kapitasi di tahun sebelumnya, perlu memenuhi persyaratan tatakelola yang sudah ditetapkan oleh Kemendagri. “Apakah betul di semua daerah persyaratan tatakelola itu sudah dilakukan? Kalau belum, maka insentifnya tidak dapat seperti yang diharapkan”, ungkap Donald. Donald juga menggarisbawahi pentingnya distribusi kepesertaan serta sharing data yang baik mengenai kepesertaan dalam meng-insentif petugas kesehatan.
klik disini